Beranda

Sunday, September 16, 2018

Fisiologi Hewan: Reseptor dan Efektor


A.      Reseptor Sensoris
Sensasi, dan persepsi yang dikembangkan di otak, diawali oleh resepsi sensoris (sensory reception), yaitu deteksi suatu energi suatu stimulus oleh sel-sel sensoris. Sebagian besar reseptor sensoris adalah neuron atau sel-sel epitelium yang terspesialisasi (khusus) yang terdiri dari sel itu sendiri atau dalam kelompok dengan jenis sel lain di dalam organ sensoris, seperti mata dan telinga. Berdasarkan asal stimulus yang dideteksi, reseptor sensoris dibedakan menjadi 2 macam, yaitu eksteroreseptor dan interoreseptor. Eksteroreseptor mendeteksi stimulus dari luar tubuh, seperti panas, cahaya, tekanan dan bahan kimia, sedangkan interoreseptor mendeteksi stimulus yang berasal dari dalam tubuh, seperti tekanan darah dan posisi tubuh (Campbell dkk, 2004).
Pada umumnya, reseptor bekerja secara khusus. Artinya, reseptor tertentu hanya akan menerima rangsang jenis tertentu. Jadi dalam satu individu hewan, dapat ditemukan berbagai macam reseptor. Dalam sistem saraf, reseptor biasanya berhubungan dengan saraf sensorik, sedangkan efektor berhubungan erat dengan saraf motorik. Reseptor bertugas sebagai transduser (pengubah energi), yaitu mengubah energi dari suatu bentuk tertentu menjadi bentuk energi yang lain. Pada saat sampai di reseptor, semua energi dalam bentuk apapun akan segera diubah menjadi energi listrik, yang selanjutnya akan membawa kepada perubahan elektrokimia sehingga timbul potensial aksi (Isnaeni, 2006).
Proses timbulnya sensasi dimulai dari reseptor sensoris. Respons yang diberikan reseptor sensoris merupakan balasan untuk adanya stimulus, rangsangan yang mampu mengaktivasi reseptor sensori tertentu. Sebuah reseptor sensoris hanya menanggapi dengan lemah atau tidak sama sekali menanggapi stimulus lain yang tidak sesuai dengannya. Karakteristik dari reseptor sensoris ini disebut sebagai selectivity. Selain itu, reseptor sensoris memproduksi dua macam potensial membran dalam menanggapi sebuah stimulus, yaitu potensial generator dan potensial aksi (Tortora dkk, 2016). Agar sensasi dapat timbul/muncul, terjadi 4 peristiwa sebagai berikut.
1.         Perangsangan Reseptor Sensoris
Stimulus yang tepat harus terjadi di dalam receptive field dari reseptor sensoris, yang merupakan area di tubuh yang jika mendapatkan rangsangan, ia akan menggerakan reseptor dan memproduksi sebuah tanggapan/respons (Tortora dkk, 2016).
2.         Tranduksi Stimulus
Sebuah reseptor sensoris mentransduksi (mengubah) energi yang terdapat di dalam stimulus menjadi potensial membran (Tortora dkk, 2016). Respons awal sel reseptor terhadap suatu stimulus adalah dengan mengubah permeabilitas membrannya, sehingga menghasilkan suatu perubahan potensial membran yang bergradasi, yang disebut potensial reseptor (Campbell dkk, 2004).
Ukuran dari potensial membran bergantung pada seberapa kuat stimulus yang ada, dan tidak menjalar ke bagian lainnya (Tortora dkk, 2016). Penguatan energi stimulus yang terlalu lemah untuk dibawa ke sistem saraf disebut amplifikasi. Amplifikasi sinyal bisa terjadi dalam struktur aksesoris suatu organ indera yang kompleks, seperti ketika gelombang suara ditingkatkan 20 kali lebih kuat sebelum mencapai reseptor telingan bagian dalam (Campbell dkk, 2004).
Kebanyakan tipe dari reseptor sensori memperlihatkan karakter selectivity; ia hanya bisa mentransduksi satu macam stimulus. Sebagai contoh, molekul bau di udara akan merangsang reseptor olfaktori (reseptor penciuman) di hidung, yang kemudian mengubah energi kimiawi molekul tersebut menjadi energi elektris dalam bentuk potensial membran (Tortora dkk, 2016).
3.         Pembangkitan/Transmisi Impuls Saraf
Ketika sebuah potensial aksi di dalam neuron mencapai ambang batas perangsangan pada membran, ia memicu timbulnya satu atau lebih impuls saraf, yang selanjutnya menyebar ke membran sel berikutnya untuk menuju sistem saraf pusat. Neuron sensoris yang mengantarkan impuls dari sistem saraf tepi ke sistem saraf pusat disebut first-order neurons (Isnaeni (2006) dan Tortora dkk, (2016)).
4.         Integrasi Input Sensoris
Sebuah daerah khusus di sistem saraf pusat menerima dan mengintegrasi (mengolah informasi) impuls sensoris saraf. (Tortora dkk, 2016). Sinyal dari reseptor diintegrasikan melalui sumasi atau penjumlahan potensial yang bergradasi. Salah satu jenis integrasi oleh sel-sel  reseptor adalah adaptasi sensori (sensory adaptation), suatu penurunan responsivitas yang terjadi selama stimulasi berlangsung. Tanpa adaptasi sensoris, Anda akan merasakan setiap denyut jantung dan setiap sentuhan pakaian pada tubuh Anda. Reseptor bersifat selektif  dalam hal informasi yang dikirimkannya ke sistem saraf pusat, dan adaptasi akan mengurangi kemungkinan penghantaran stimulus yang berkesinambungan (Campbell dkk, 2004).
Sensasi sadar atau persepsi terintegrasi di dalam korteks serebral. Kamu tampak melihat dengan menggunakan matamu, mendengar dengan menggunakan telingamu, dan merasakan nyeri pada bagian yang terluka di tubuhmu karena impuls sensoris dari berbagai bagian tubuh sampai di sebuah daerah spesifik pada korteks serebral, yang mana menginterpretasikan sensasi yang datang dari reseptor sensori yang dirangsang (Tortora dkk, 2016).
Terdapat berbagai macam rangsang yang dapat diterima oleh hewan, sehingga terdapat berbagai macam reseptor pula dalam tubuhnya. Berdasarkan jenis energi yang ditransduksikan, reseptor sensoris dibedakan menjadi 7 macam yaitu kemoreseptor, mekanoreseptor, termoreseptor, elektroreseptor, fotoreseptor, magnetoreseptor, dan reseptor rasa sakit. Berbagai macam reseptor sensoris dijelaskan sebagai berikut.
1.         Kemoreseptor
Kemoreseptor meliputi reseptor umum yang manghantarkan informasi mengenai konsentrasi zat terlarut ttal dalam suatu larutan dan reseptor spesifik yang merespons terhadap masing-masing jenis molekul. Osmoreseptor pada otak mamalia, misalnya, adalah reseptor umum yang mendeteksi perubahan konsentrasi zat terlarut total dalam darah dan merangsang rasa haus ketika osmolaritas meningkat (Campbell dkk, 2004). Dalam proses penerimaan rangsangan kimia (kemoreseptor), terjadi interaksi antara bahan kimia dengan kemoreseptor membentuk kompleks bahan kimia-kemoreseptor. Kompleks tersebut mengawali proses pembentukan potensial generator pada reseptor, yang akan segera menghasilkan potensial aksi pada sel saraf sensoris dan sel berikutnya sehingga timbul tanggapan. Proses pembentukan potensial generator pada kemoreseptor sama seperti yang terjadi pada reseptor lainnya. Bedanya, rangsangan bagi kemoreseptor ialah zat kimia (Isnaeni, 2006).
Kemoreseptor terdapat pada vertebrata maupun invertebrata. Pada insekta, kemoreseptor terdapat pada bagian mulut, antena, dan kaki. Pada umumnya, kemoreseptor ini berupa rambut atau duri sensoris yang kaku. Rambut sensoris insekta memiliki susunan yang khas yang berfungsi sebagai kemoreseptor, yakni 1 reseptor untuk gula, 1 untuk air, serta 1 atau 2 reseptor untuk garam dan senyawa lainnya, di antara kemoreseptor tersebut juga ditemukan adanya mekanoreseptor (reseptor taktil). Pada antena insekta sering ditemukan adanya sel pembau, tetapi tidak selalu (Isnaeni, 2006).
Sebagian besar hewan juga mempunyai reseptor yang spesifik terhadap molekul penting, seperti glukosa, oksigen, karbon dioksida, dan asam amino (Campbell dkk, 2004). Kemoreseptor yang bersifat umum dan terdapat pada semua hewan ialah reseptor pengecap (gustatoris) terutama untuk mengecap rasa pahit dan reseptor penciuman (olfaktoris). Kemoreseptor juga sangat penting untuk memantau kadar O2 dan CO2 dalam cairan tubuh serta untuk menerima rangsangan feromon. Feromon merupakan zat kimia yang mudah menguap, yang dilepaskan oleh hewan tertentu ke udara dan dapat digunakan sebagai sinyal bagi hewan lain (Isnaeni, 2006).
Pada semua hewan, pengecapan (gustasi) dan penciuman (olfaksi) sangat penting dalam perilaku pencarian dan pengambilan makanan. Indera gustasi (pengecapan) dan olfaksi (penciuman) termasuk ke dalam kategori kemoresepsi. Sel yang terspesialisasi berperan sebagai reseptor bagi beberapa zat kimiawi. Setelah zat kimiawi ini bereaksi dengan reseptor, sebuah impuls dikirim ke otak dan diartikan sebagai rasa atau bau. Gustasi dan olfaksi adalah indera kimiawi karena reseptor yang ada pada mereka sensitif terhadap molekul di dalam makanan yang kita makan, begitu pula dengan udara yang kita hirup (Wikibooks Contributors, 2006). Pada hewan terestrial, pengecapan adalah pendeteksian zat kimia tertentu yang terdapat dalam suatu larutan, dan penciuman adalah pendeteksian zat kimia yang ada di udara. Akan tetapi, kedua indera kimiawi ini umumnya saling berhubungan erat, dan justru tidak ada bedanya ketika dalam lingkungan akuatik (Campbell dkk, 2004).
Lidah merupakan indera perasa yang sangat fungsional. Mekanisme transduksi sensoris pada lidah berlangsung secara spesifik. Molekul memasuki taste bud (ujung penerima cita rasa) lalu mengikat molekul protein spesifik didalam membran sel reseptor menyebabkan permiabilitas membran berubah sehingga terbuka saluran dalam membran. Ion-ion menjadi terisi positif dan mengalir masuk sel dari cairan yang di sekelilingnya dan mengubah voltage membran jadi tinggi, dinamakan receptor potential. Potensial ini adalah sinyal listrik dari transduksi sensori (Santoso, 2009).
Reseptor pengecapan pada serangga terletak pada rambut sensoris di kaki dan mulut yang disebut sensila. Hewan menggunakan indera pengecapan untuk menyeleksi makanan. Rambut pengecap mengandung sel kemoreseptor yang sensitif terhadap golongan stimulus tertentu, seperti gula atau garam, dengan mengintegrasikan sensasi (impuls saraf)  dari sel-sel reseptor yang berbeda ini, otak serangga ternyata dapat membedakan jumlah pengecapan yang sangat banyak. Serangga dapat juga mencium zat kimia yang terkandung di udara, dengan menggunakan sensila olfaktoris, yang umumnya berlokasi di antena. Pada manusia dan mamalia lainnya, indera pengecapan dan penciuman secara fungsional mirip dan saling berkaitan. Suatu molekul kecil harus terlarut dalam cairan untuk mencapai sel reseptor dan memicu sensasi. Molekul tersebut berikatan dengan protein spesifik pada membran sel reseptor, yang memicu depolarisasi membran dan membebaskan neurotransmitter (Campbell dkk, 2004).
Terdapat beberapa rasa yang mampu dideteksi oleh reseptor pengecapan di lidah, yaitu asin, masam, pahit, manis, umami (lezat/sedap). Rasa asin dapat dideteksi oleh reseptor yang hanya bisa diaktifkan oleh zat kimia NaCl, masam dapat dideteksi oleh reseptor karena komponen acidic nya (larutan ion H+), rasa pahit sendiri memiliki banyak sekali macam zat kimia spesifik yang sangat berbeda satu sama lain, begitu pula dengan rasa manis serta umami.
Sebuah neuron reseptor olfaktori, yang juga disebut neuron sensori olfaktori, merupakan sel transduktor utama di dalam sistem olfaktori. Manusia memiliki sekitar 40 juta neuron reseptor olfaktori. Pada vertebrata, neuron reseptor olfaktori terletak di epitelium olfaktori rongga nasal. Sel ini bertipe neuron bipolar dengan dendrit yang menghadap ke ruang bagian dalam dari rongga nasal dan sebuah akson yang pengoperasiannya bergantung pada indera penciuman kita. Reseptor olfaktori tiap individu diganti kira-kira setiap 40 hari sekali oleh sel batang saraf yang terletak di epitelium olfaktori (Wikibooks Contributors, 2006).Organ Olfaktori (hidung), ujungnya saraf berada pada lapisan permukaan lubang hidung, sensitif terhadap lingkungan yang bersifat kimia. Epitel olfaktori yang terdiri dari sel-sel adalah organ yang menerima rangsangan. Tiap hewan berbeda sensitivitasnya terhadap bau. Sel-sel itu diteruskannya ke akson (Santoso, 2009).
2.         Mekanoreseptor
Mekanoreseptor dirangsang oleh perubahan bentuk fisik yang disebabkan oleh stimulus seperti tekanan, sentuhan, regangan, pergerakan, dan suara—semua bentuk energi mekanis. Pembengkokan atau peregangan membran plasma sebuah sel mekanoreseptor meningkatkan permeabilitas terhadap ion natrium maupun ion kalium, yang menyebabkan depolarisasi (potensial reseptor) (Campbell dkk, 2006).
Mekanisme sederhana yang diusulkan untuk menjelaskan mekanoreseptor adalah sebagai berikut (Isnaeni, 2006).
a.    Saat sel dalam keadaan istirahat, pintu ion Na+ pada membran mekanoreseptor masih dalam keadaan tertutup.
b.    Rangsangan mekanik yang menekan reseptor menyebabkan membran mekanoreseptor merenggang.
c.    Peregangan membran mekanoreseptor tersebut menimbulkan perubahan konferensi protein penyusun pintu ion Na+.
d.   Pintu ion Na+ terbuka diikuti terjadinya perubahan elektrokimia yang mendepolarisasikan mekanoreseptor.
Mekanoreseptor dapat terjadi pada vertebrata maupun invertebrata. Invertebrata memiliki reseptor untuk menerima rangsang tekanan, suara, dan gerakan. Pada vertebrata, mekanoreseptor bukan hanya dapat memantau panjang otot, bahkan berfungsi sebagai alat pendengaran dan organ keseimbangan (misalnya struktur di bagian dalam telinga) (Isnaeni, 2006). Sel rambut adalah satu jenis mekanoreseptor yang umum dalam mendeteksi pergerakan. Sel-sel rambut ditemukan dalam telinga vertebrata dan pada organ gurat sisi ikan serta amfibia, di mana sel-sel itu mendeteksi pergerakan relatif terhadap lingkungan. Rambut adalah silia atau mikrovili yang mengalami spesialisasi. “Rambut” mencuat ke atas dari permukaan sel-sel rambut ke dalam kompartemen internal seperti telinga bagian dalam manusia, atau ke lingkungan eksternal, seperti kolam (Campbell dkk, 2004).
Satu contoh interoreseptor yang distimulasi oleh distorsi mekanis adalah gelendong otot (muscle spindle), atau reseptor regangan. Mekanoreseptor ini memonitor panjang otot rangka. Gelendong otot mengandung serabut otot yang termodifikasi dan bertautan dengan neuron sensoris serta tersusun sejajar dengan otot. Ketika otot itu diregangkan, serabut gelendong otot juga akan meregang, yang mendepolarisasikan neuron sensoris dan memicu potensial aksi yang dihantarkan kembali ke sumsum tulang belakang ((Campbell dkk, 2004).
Peristiwa lain yang menggunakan prinsip dasar yang sama dengan proses mendengar yaitu ekolokasi (proses mendengar gaung). Gaung sebenarnya merupakan pantulan gelombang suara dari sumber suara yang pertama. Gelombang suara yang muncul pertama berasal dari hewan yang melakukan ekolokasi, kemudian dipantulkan oleh benda lain sehingga gaungnya dapat didengar. Ekolokasi biasanya digunakan oleh hewan pada malam hari, misalnya burung yang tinggal di gua, ikan paus, dan lumba-lumba, dan kelelawar Microchiropteran. Cara ini berguna untuk mendeteksi adanya mangsa atau objek lain di sekitar hewan tersebut, dan dapat menunjukkan jarak antara dirinya dan benda lain (Isnaeni, 2006).
Telinga (merupakan organ indera, sebagai reseptor pendengaran. Telinga termasuk indera mekanoreseptor, memberikan respons (tanggapan) getaran mekanik gelombang suara di udara. Frekuensi suara berbeda dan informasi dihantarkan ke saraf pusat. Telinga mamalia dibagi 3 ruang: telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam (Santoso, 2009).
a.         Telinga luar tempat masuknya getaran suara. Liang telinga mengantarkan gelombang suara ke membran timpani dengan panjang pada manusia kira-kira 2,5 cm
b.        Telinga tengah, rongga timpani, dilapisi mukosa, yang berisi udara. Didalamnya terdapat 3 buah tulang telinga. Membran timpani, membran fibrosa tipis yang berwarna kelabu. Berbentuk bulat dengan garis tengah kira-kira 1 cm, sangat peka terhadap nyeri. Permukaan luarnya disarafi oleh saraf auditorius. Tiga buah tulang telinga adalah (maleus, incus dan stapes). Maleus berasal dari rawan Meckel, incus berasal dari tulang quadratum rahang bawah dan stapes dari rawan hyomandibula.
c.         Telinga dalam atau labirin mengandung alat dengar pada saluran cochlea, padanya ada organ Corti sebagai organ reseptor. Pada organ Corti terdapat lantai basilar dimana ada sel-sel reseptor yang berperan dalam transduksi yaitu pengubahan energi menjadi energi listrik (Santoso, 2009).
3.         Termoreseptor
Termoreseptor, yang merespons terhadap panas dan dingin, membantu mengatur suhu tubuh dengan cara mendeteksi suhu permukaan dan bagian dalam tubuh (Campbell dkk, 2004). Proses ini sangat penting bagi hewan, mengingat perubahan suhu dapat berpengaruh buruk terhadap tubuh individu. Peningkatan perubahan suhu secara ekstrem akan memegang struktur protein dan enzim sehingga tidak dapat berfungsi secara maksimal. Hal ini dapat mengganggu penyelenggaraan berbagai reaksi metabolik yang penting. Pada insekta, termoreseptor terdapat pada antena dan kaki, berguna untuk memantau suhu di udara maupun tanah. Pada mamalia, termoreseptor terdapat di kulit dan hipotalamus, masing-masing untuk memantau suhu tubuh di bagian perifer dan pusat tubuh (Isnaeni, 2006).

4.         Fotoreseptor
Fotoreseptor adalah reseptor yang mendeteksi radiasi yang kita kenal sebagai cahaya tampak, sering kali diorganisasikan menjadi mata. Ular mempunyai reseptor infra merah yang sangat sensitif dalam mendeteksi panas tubuh mangsa yang berada di lingkungan yang lebih dingin (Campbell dkk, 2004). Hampir semua hewan dapat mendeteksi cahaya. Bahkan hewan yang tidak memiliki struktur fotoreseptor khusus, contohnya amoeba, ternyata juga dapat mendeteksi cahaya. Struktur fotoreseptor bervariasi, dari yang paling sederhana berupa eye-spot daerah sitoplasma yang peka terhadap cahaya, seperti yang terdapat pada euglena) hingga struktur yang rumit dan terorganisasi dengan baik seperti yang dimiliki vertebrata. Semua reseptor bekerja menurut prinsip yang sama. Perbedaan cara kerja di antara reseptor hanya terletak pada jenis rangsang yang diterima (Isnaeni, 2006).
Reseptor cahaya dan kemampuan visual invertebrata sangat beragam, yang berkisar dari sebuah mangkuk mata yang sensitif terhadap cahaya pada planaria sampai ke mata majemuk pembentuk citra pada serangga dan krustasea dan mata berlensa tunggal pada ubur-ubur, laba-laba, dan kebanyakan moluska (Campbell dkk, 2004). Pada cacing pipih, fotoreseptor pada sepasang mata yang membentuk mangkuk. Apabila diberi rangsangan cahaya, cacing pipih akan bergerak menghindarinya dan berusaha untuk mencari daerah yang gelap guna memperkecil resiko tertangkap oleh pemangsa (Isnaeni, 2006).
Sel fotoreseptor pada vertebrata mempunyai banyak lipatan dan mengandung pigmen yang umumnya berupa rodopsin. Rodopsin akan berubah jika ada cahaya yang mengenai sel tersebut. Perubahan awal tersebut akan segera diikuti dengan serangkaian perubahan berikutnya, yang akan membawa sel ke keadaan terdepolarisasi (Isnaeni, 2006). Vertebrata mempunyai mata berlensa tunggal. Bagian utama pada mata vertebrata adalah lapisan luar, yaitu sklera, yang meliputi kornea transparan; konjungtiva, membran mukosa, yang mengelilingi seluruh bagian sklera kecuali kornea; koroid, lapisan tengah yang berpigmen, yang meliputi iris, yang mengelilingi pupil; retina, lapisan bagian dalam pada bagian belakang bola mata yang mengandung sel fotoreseptor; dan lensa, yang tersuspens di antara dua ruangan dalam mata, yang memfokuskan cahaya pada retina (Campbell dkk, 2004).
Fotoreseptor yang sangat unik dapat ditemukan pada mata Artropoda, yang memiliki susunan mata majemuk. Pada hewan ini mata tersusun atas sejumlah unit optik yang lebih kecil, yang disebut omatidia. Vertebrata dan Moluska jenis Cephalopoda mempunyai mata fesikuler yang melengkapi retina. Burung dan mamalia memiliki lensa mata khas, yang dapat berubah bentuk (berakomodasi) sedemikian rupa sehingga bayangan benda dapat terfokus pada retina (Isnaeni, 2006).
Mata adalah organ indera yang rumit, bentuk seperti bola, bola mata, sebagai medium refraksi yang terdiri dari aqueus humor (cairan bening), lensa bikonveks, korpus vitreous humor dan retina. Di depan dilapisi selaput transparan cornea yang mudah ditembus oleh cahaya. Cornea adalah bagian dari sclera, lapisan tipis dari bagian jaringan ikat melapisi bola mata sebelah luar Pupil adalah liang tempat masuk cahaya, berada ditengah-tengah iris, jaringan ikat berpigmen dan memberi warna mata. Otot-otot iris mengatur besar liang pupil.Cahaya masuk kedalam mata, berturut-turut: cornea - aqueus humor – lensa - vitreous humor – retina. Lensa berfungsi untuk memfokuskan cahaya yang masuk kedalam mata dan ditangkap di fovea sentralis pada retina. Fotoreseptor berbentuk kerucut, bentuk modifikasi neuron(Santoso, 2009).
5.         Elektroreseptor
Reseptor elektro (electro receptor) mendeteksi berbagai bentuk energi elektromagnetik, seperti cahaya tampak dan listrik (Campbell dkk, 2004). Sejumlah hewan, terutama ikan hiu, ikan pari, dan ikan berkumis (sejenis lele), mempunyai kemampuan mendeteksi medan elektrik kecil dihasilkan oleh hewan lain. Medan elektrik yang sedemikian itu dihasilkan oleh aktivitas otot dan berfungsi untuk mendeteksi adanya musuh maupun makanan. Alat penerimaan rangsangan berupa medan elektrik itulah yang disebut elektroreseptor. Elektroreseptor yang banyak dipelajari ialah reseptor yang terdapat pada gurat sisi dan ampula Lorenzini (Ikan hiu dan ikan pari). Ikan tersebut dapat menghasilkan medan listrik secara terus-menerus ke lingkungannya. Apabila berdekatan dengan ikan lain yang juga mengeluarkan medan listrik, keduanya dapat saling merasakan adanya gangguan pada medan listrik yang menghasilkan masing-masing. Gangguan pada medan elektrik ini akan dideteksi oleh elektro reseptor. Dengan cara seperti itu, ikan dapat menyadari kehadiran hewan lain di dekatnya (Isnaeni, 2006).
Platipus, anggota golongan mamalia monotremata, mempunyai elektroreseptor pada paruhnya yang kemungkinan dapat mendeteksi medan listrik yang dibangkitkan oleh otot mangsa, seperti krustasea, kadal, dan ikan-ikan kecil.

6.         Magnetoreseptor
Beberapa jenis hewan memiliki kemampuan untuk orientasi terhadap medan magnet bumi. Kemampuan ini semacam ini bermanfaat dalam navigasi, yang memungkinkan hewan mengenali sumbu utara-selatan. Contoh hewan yang memiliki kemampuan ini ialah lebah madu, yang menggunakan medan magnetik bumi untuk berkomunikasi. Hewan lain yang mampu menggunakan medan magnet untuk kembali ke sarangnya ialah burung (Isnaeni, 2006). Selain berguna dalam navigasi untuk kembali ke sarang dan berkomunikasi, terdapat pula hewan yang menggunakan garis medan magnetik bumi untuk mengorientasikan arah dalam perjalanan bermigrasi, salah satunya paus beluga.
Magnetit mineral yang mengandung besi ditemukan di tengkorak beberapa burung dan mamalia (termasuk manusia), dalam abdomen lebah, pada geligi beberapa jenis moluska, pada protista tertentu dan prokariota yang mengorientasikan dirinya dengan mengacu pada medan magnetik bumi (Campbell dkk, 2004).
7.         Reseptor Rasa Sakit (Pain Receptor)
Reseptor rasa sakit pada manusia merupakan kelompok dendrit telanjang pada epidermis kulit yang disebut nosiseptor (nociceptor). Rasa sakit merupakan salah satu sensasi yang paling penting karena stimulus diterjemahkan menjadi reaksi negatif, seperti penarikan diri dari bahaya. Sebagian kecil individu terlahir tanpa sensasi rasa sakit sama sekali. Mereka bisa mati akibat suatu kondisi seperti usus buntu yang pecah, karena mereka tidak bisa merasakan rasa sakit yang berasosiasi dengan kondisi tersebut dan dengan demikian tidak menyadari bahaya tersebut (Campbell dkk, 2004).
Kelompok reseptor rasa sakit yang berbeda merespons terhadap panas dan tekanan yang berlebihan, atau kelas zat kimia spesifik yang dibebaskan secara berlebihan dari jaringan yang meradang. Beberapa zat kimia yang menginduksi rasa sakit meliputi histamin dan asam. Prostaglandin meningkatkan rasa sakit dengan membuat reseptor menjadi sensitif, yakni dengan menurunkan nilai ambangnya. Aspirin dan ibuprofen mengurangi rasa sakit dengan cara menghambat sisntesis prostaglandin (Campbell dkk, 2004).
Selain berdasarkan jenis energi yang ditransduksikan, reseptor sensoris juga dapat dibedakan berdasarkan struktur mikroskopis serta berdasarkan lokasi reseptor dan asal mula stimulus yang mengaktifkannya. Adapun macam reseptor sensoris tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 18. Klasifikasi reseptor berdasarkan struktur mikroskopis dan lokasinya di tubuh
Jenis Reseptor
Deskripsi
Berdasarkan struktur mikroskopis
Ujung saraf tidak beraturan
(free nerve endings)
Merupakan dendrit telanjang yang berhubungan dengan nyeri, paas, geli, dan beberapa sensasi sentuhan lainnya.
Ujung saraf berbentuk kapsul
(encapsuled nerve endings)
Dendrit mengelilingi kapsul jaringan penghubung, untuk tekanan, getaran, dan beberapa sensasi sentuhan lainnya.
Ujung saraf dengan sel-sel yang terbagi

Sel reseptor bersinapsis dengan neuron sensori first-order, berlokasi di dalam retina mata (fotoreseptor), dalam telinga (sel rambut), dan indera pengecap di lidah (sel gustatori).
Berdasarkan lokasi reseptor dan asal mula stimulus yang mengaktifkannya
Eksteroreseptor
Berlokasi di atau dekat permukaan luar tubuh. Mereka sensitif terhadap stimuli yang berasal dari luar tubuh dan memberikan informasi mengenai keadaan sekitar tubuh. Sensasi mendengar, menbaui, melihat, mengecap, menyentuh, tekanan, getaran, suhu, dan nyeri disampaikan oleh eksteroreseptor.
Interoreseptor/visceroreseptor
Berlokasi di dalam pembuluh darah, organ visceral, otot, dan sistem saraf, serta bertuga memonitor keadaan dalam tubuh. Impuls saraf yang diproduksi oleh interoreseptor biasanya tidak dirasakan secara sadar; namun sesekali, pergerakan dari interoreseptor oleh stimulus yang kuat memungkinkan untuk terasa sebagai nyeri atau tekanan.
Proprioreseptor
Berlokasi di dalam otot, tendon, sendi, dan daerah dalam telinga. Mereka memberikan informasi tentang posisi tubuh, panjang dan tegangan otot, dan posisi serta pergerakan dari sendi.
(Sumber: Tortora dkk, 2016)

B.       Efektor
Efektor ialah alat penghisap tanggapan biologis. Tanggapan yang dihasilkan oleh efektor sangat bervariasi, mulai dari tanggapan yang dapat dilihat secara jelas menggunakan mata (misalnya gerak tubuh yang dihasilkan oleh jaringan otot dengan kemampuan kontraksinya) sampai tanggapan yang tidak terlihat mata (misalnya sekresi hormon oleh organ endokrin dan perubaha beberapa aspek metabolisme akibat adanya hormon) (Isnaeni, 2009).
Beberapa jenis hewan mempunyai kemampuan untuk menghasilkan tanggapan berupa perubahan warna kulit, misalnya cumi-cumi, oktopus, ikan flounder (ikan pipih), bunglon, katak, dan ular. Perubahan warna dapat terjadi karena hewan mempunyai kromatofor pada kulitnya. Kromatofor adalah sel yang mengandung pigmen. Di bawah kendali endokrin, kramatofor dapat mengubah penyebaran pigmen pada sel pigmen (terkumpul atau tersebar) dalam ukuran menit atau detik (Isnaeni, 2009).
Mekanisme perubahan warna yang terjadi pada setiap spesies hewan tidak sama. Pada cumi-cumi dan oktopus, kromatofor terkait oleh sel otot sehingga aktivitas kontraksi-relaksasi otot akan mengubah penyebaran pigmen. Jika otot berkontraksi, kromatofor pada cumi-cumi dan oktopus meluas dan pigmen tersebar. Akibatnya, kulit tampak lebih gelap. Sebaliknya, pada saat otot berelaksasi, kromatofor mengerut dan pigmen didalamnya terkumpul sehingga kulit tampak berwarna lebih terang. Jadi, perubahan warna kulit pada cumi-cumi dan oktopus tergantung pada aktivitas otot, sedangkan kontraksi otot dikendalikan oleh saraf. Cara kerja kromatofor tersebut berbeda dengan cara kerja kromotofor amfibi. Pada amfibi, kromotofor bekerja dengan penyebaran dan pengumpulan pigmen secara sederhana, atau kadang-kadang dikendalikan oleh hormon (bukan oleh saraf) (Isnaeni, 2009).
Berikut ini adalah berbagai macam penerimaan rangsang dan reseptornyapada hewan.
1.         Tanggapan berupa Pergerakan Intrasel
Sitoskeleton merupakan rangka sel yang berfungsi mempertahankan bentuk sel dan melaksanakan pergerakan sel maupun pergerakan organel di dalam sel. Sebagian besar dari sel hewan (hampir semua) melakukan pergerakan sel, salah satunya adalah sel saraf. Pada sel saraf terjadi pergerakan neurotransmitter yang disintesis dalam badan sel kemudian dibawa ke ujung akson yang selanjutnya memicu terjadinya transmisi sinaptik. Pergerakan pada amoeba juga tergantung pada adanya aliran sitoplasmik seperti yang terjadi pada sel saraf.
2.         Tanggapan berupa Pergerakan Ameboid
Pada hewan multiseluler, gerakan ameboid dilakukan oleh sel darah putih yang meninggalkan aliran darah dan masuk ke dalam jaringan yang rusak. Pada hewan bersel satu (Amoeba), gerak ameboid terjadi dengan membentuk kaki semu (pseudopodia). Ketika amoeba mendapat rangsang (misalnya rangsang makanan), plasma gel (fase gel) di sebelah membran yang berdekatan dengan rangsang akan berubah menjadi plasma sol (masuk ke fase sol). Adanya perubahan di satu sisi tersebut menyebabkan timbul tekanan positif, sehingga aliran plasma sol akan bergerak dari daerah bertekanan positif menuju ke daerah bertekanan negatif, akhirnya, terbentuk pseudopodia yang dapat membuat amoeba bergerak. Penjelasan di atas merupakan efek yang terjadi jika amoeba mendapat rangsang makanan, sedangkan, jika amoeba mendapat rangsang cahaya, ia akan bergerak menjauhi cahaya, dengan mekanisme yang tidak jauh berbeda. Gerakan pada amoeba juga melibatkan aktin dan miosin.


3.         Tanggapan berupa Pergerakan Otot
Selain amoeba, aktin dan miosin juga berperan dalam pergerakan otot. Gerakan otot sendiri merupakan hasil dari adanya gaya tarik-menarik antara aktin dan miosin. Beberapa invertebrata, seperti annelida, moluska, dan sebagian besar artropoda, memiliki 2 macam otot, yaitu otot polos dan otot lurik. Pada vertebrata, umumnya memiliki 3 jenis otot, yaitu otot polos, otot lurik, dan otot jantung. Otot jantung memiliki ciri dan sifat yang khusus. Mekanisme pergerakan otot dimulai dari adanya impuls yang berasal dari saraf motorik yang sampai di saraf mioneural (sinaps antara saraf dan otot).
4.         Tanggapan berupa Pelepasan Arus Listrik
Pelepasan arus listrik oleh efektor hanya terjadi pada beberapa jenis ikan. Arus listrik tersebut dihasilkan oleh organ elektrik, seperti yang terdapat pada Electrophorus electricus, belut listrik yang berhabitat di sungai Nil. Arus listrik yang dikeluarkannya merupakan sebagai benteng pertahanan yang ia ciptakan ketika merasa terancam, arus listrik yang dikeluarkan dapat mencapai 750 volt, yang mampu membunuh hewan lain yang besarnya hampir setara dengan tubuh manusia.

C.      ResponsHewan pada Berbagai Lingkungan
1.         Respons terhadap lingkungan akuatik
Lingkungan akuatik adalah tempat hidup hewan yang berupa air, baik air tawar, laut, maupun air payau. Sebagian besar permukaan bumi (lebih dari 70%) tertutup oleh air. Sebagian besar dari perairan tersebut berupa lautan atau marine. Air tawar yang terdapat di danau dan sungai hanya merupakan bagian kecil saja, yaitu 1% dari luas seluruh permukaan air dan hanya 0,01% dari volume seluruh air laut. Kehidupan dapat dijumpai di berbagai kedalaman air, baik pada dasar air yang padat maupun pada badan air yang kedalamannya dapat mencapai 10.000 m atau lebih (Isnaeni, 2006)
2.         Respons terhadap lingkungan Terrestrial
Keadaan lingkungan terrestrial yang paling menguntungkan bagi hewan ialah ketersediaan oksigen yang berlimpah sehingga hewan dapat memperolehnya dengan mudah. Sementara, faktor lingkungan yang merupakan ancaman paling besar bagi kehidupan terrestrial adalah bahaya radiasi dan dehidrasi (Isnaeni, 2006).


a.         Pengaruh Radiasi terhadap Hewan
Semua benda, termasuk hewan dan manusia, mampu menerima radiasi dari lingkungannya. Kemampuan suatu benda untuk menerima radiasi yang sampai padanya dinamakan absorbsivitas. Absorbsivitas suatu benda bervariasi. Kulit manusia dan bulu binatang memiliki absorbsivitas yang tinggi untuk kisaran spektrum inframerah (panjang gelombang sedang, yakni antara 5000-10.000 nm). Jika dihadapkan pada sinar matahari secara langsung, kulit dan bulu serta rambut yang berwarna lebih gelap akan menyerap energi lebih banyak daripada yang berwarna lebih terang (Isnaeni, 2006).
Radiasi merupakan salah satu mekanisme penting untuk menjaga panas pada tubuh hewan. Radiasi ultraviolet dari matahari dapat menimbulkan efek mensterilkan, khususnya terhadap protozoa yang ada di atmosfer/udara. Sinar ultraviolet yang terserap secara selektif oleh asam nukleat di dalam sel akan mengubah asam nukleat itu menjadi timin dimer siklobutan. Pembentukan timin dimer akan menghambat replikasi DNA. Proses seperti inilah yang menyebabkan timbulnya efek letal (mematikan) dan efek mutagenik terhadap organisme (Isnaeni, 2006).
b.        Ancaman Dehidrasi bagi Hewan
Ancaman dehidrasi dari lingkungan terrestrial ternyata berkaitan erat dengan peluang terjadinya penguapan air secara besar-besaran dari dalam tubuh hewan. Tingkat penguapan yang tinggi sangat dipengaruhi oleh suhu udara yang tinggi dan kelembapan yang rendah, serta faktor fisika lain seperti kecepatan aliran udara (angin) dan luas permukaan benda yang mengalami penguapan. Ancaman dehidrasi merupakan faktor pembatas bagi penyebaran hewan di daerah terestrial. Agar dapat hidup pada lingkungan terrestrial, hewan harus melakukan berbagai upaya untuk menghindarkan diri dari ancaman dehidrasi (Isnaeni, 2006).


No comments:

Post a Comment