Beranda

Thursday, December 12, 2013

Pendekatan Antropologi dalam Pergumulan Budaya Islam dengan Budaya Lokal



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Sekarang ini ada kecenderungan untuk melihat Islam secara menyeluruh dengan menonjolkan ciri-ciri Islam lokal. Kajian Marshal Hodgson yang mencoba menggabungkan perjalanan pergumulan Islam dengan budaya maupun peradaban lokal menunjukkan suatu hasil yang memuaskan. Buku The Venture of Islam, tidak saja menghasilkan sebuah peta besar keberagaman Islam, tetapi juga merupakan tantangan tersendiri bagi pengamat Islam untuk menerjemahkan makna keberagaman itu. Di lain pihak, buku itu menyisakan banyak pekerjaan rumah untuk kita semua bagaimana mengembangkan pemahaman dan kajian Islam di tingkat lokal untuk melihat keragaman dan kekayaan Islam lokal.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa manausia adalah makhluk sosial oleh karena itu di buat suatu aturan atau hukum bagi manusia itu sendiri dan manusia ada kalanya menerima dengan apa yang di buat aturan dan ada pula yang tidak menerima bahkan bisa jadi membantah aturan itu karena setiap manusia punya sifat sendiri-sendiri, kepentingan sendiri-sendiri,dan ego yang tinggi. Dalam hal ini berupa aturan atau hukum agama untuk membatasi sifat, kepentingan, ego manusia dari itulah terciptanya agama sebagai penenang hidup dalam dunia ini dan selamat di akhirat. Oleh karena itu di dalam studi Islam pun tidak lepas dari memahami tentang kebutuhan manusia  baik lahir ataupun batin agar manusia tidak ada unsur keterpaksaan dalam memeluk suatu keyakinan atau agama.
Pada saat ini kehadiran agama semakin di tuntut agar ikut terlibat secara aktif dalam memecahkan berbagai masalah yang di hadapi manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau sekedar di sampaikan dalam khotbah, melainkan secara konsepsional menunjukan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat di artikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dangan masalah-masalah yang di hadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah di gunakan pula untuk memahami agama.
Agaknya kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan wacana baru globalisasi. Kajian tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana manusia.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia dalam Islam memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam mengetahui tentang Tuhan. Dengan demikian pemahaman agama secara keseluruhan tidak akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia. Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah realitas Ketuhanan yang empiris. Di sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam. Sebagai ilmu yang mengkhususkan diri mempelajari manusia yang merupakan realitas empiris agama maka antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama itu sendiri.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan pendekatan antropologi?
2.      Apakah fungsi pendekatan antropologi?
3.      Bagaimanakah cara kerja pendekatan antropologi dalam mengkaji pergumulan budaya Islam dengan budaya lokal?


1.3  Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui apa itu pendekatan antropologi dalam Metodologi Studi Islam, serta bagaimanakah pelaksanaannya dalam mengkaji pergumulan budaya Islam dengan budaya lokal.



























BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pendekatan Antropologi
Antropologi berasal dari bahasa Yunani; anthropos yang berarti manusia, dan logos yang berarti ilmu (Koentjaraningrat, 1984). Secara definisi, menurut beberapa pakarnya pengertian antropologi dapat dimengerti sebagai ilmu yang mempelajari tentang keberadaan manusia, budaya masyarakatnya, dalam suatu teritorial tertentu.
Lebih jelasnya, William A. Haviland mengemukakan bahwa antropologi merupakan studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia. Menurut Koentjaraningrat, antropologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat, serta kebudayaan yang dihasilkannya.
Dari beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa antropologi adalah studi yang mempelajari manusia dalam semua aspek kehidupannya. Dimana dalam pemahaman umumnya antropologi mengkonsentrasikan dirinya secara keseluruhan untuk mempelajari manusia dalam aspek sosialnya. Yakni hubungannya dengan orang lain dalam sebuah tatanan masyarakat sehingga menghasilkan pemahaman terhadap hal-hal yang bersifat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat yang dimaksud.
Selanjutnya, diketahui bahwa yang menjadi tugas utama antropologi, studi tentang manusia adalah untuk memungkinkan kita memahami diri kita dengan memahami kebudayaan lain. Antropologi menyadarkan kita tentang kesatuan manusia secara esensial, dan karenanya membuat kita saling menghargai antara satu dengan yang lain (Ahmad, 1994).
Kajian antropologi dibagi empat, yaitu:
a.         Intelektualisme, yaitu mempelajari agama dari sudut pandang intelektual yang mencoba melihat definisi agama dalam setiap masyarakat, kemudian melihat perkembangannya (religius development) dalam suatu masyarakat. E.B. Taylor mengemukakan bahwa agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supernatural.
b.        Strukturalis
c.         Fungsionalis
d.        Simbolis
Objek antropologi agama ada empat, yaitu:
a.         Modus pemikiran primitif,
b.        Komunikasi, seperti simbol dan mite,
c.         Teori dan praktik keagamaan,
d.        Praktik ritual sampingan seperti magic.
Sedangkan aliran antropologi agama terdiri dari.
a. Aliran fungsional
Penelitian Brosnilaw Kacper Malinowski bertujuan mengetahui titik pandang pemikiran masayarakat sederhana dan hubungannya dengan kehidupan serta mengatakan pandangan-pandangan mereka tentang dunia.
b.Aliran historis
EE Evans Pritchard dalam penelitiannya mengaitkan bahwa aliran historis adalah membandingkan struktur masyarakat dan kebudayaan yang berbeda.
c. Aliran struktural
Claude Levi Strauss mengemukakan bahwa bahasa dan mite menggambarkan kaitan antara alam dengan budaya dan hubungan antara alam dan budaya itu ditemukan hukum-hukum pemikiran masyarakat yang diteliti.
          
2.2 Fungsi Pendekatan Antropologis
Setelah mengkaji tentang hal-hal yang berkenaan dengan antropologi secara umum, terhadap Islam sebagai sebuah agama yang dianut oleh suatu masyarakat dapat ditemukan beberapa fungsi padanya. Hal ini seperti yang dikemukakan Abudin Nata dalam buku Metodologi Studi Islam, bahwa melalui pendekatan antropologis akan didapati hasil, yang diantaranya:
1.         Pendekatan antropologis dapat melihat agama dalam hubungannya dengan mekanisme pengorganisasian (social organization).
2.         Dapat melihat hubungan antara agama dan negara.
3.         Melihat keterkaitan agama dengan psikoterapi.
Selanjutnya dapat ditemukan pula dengan pendekatan antropologis ini, tentang seberapa melekatnya ajaran Islam dalam pola pikir masyarakat sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu masyarakat tertentu adalah sebuah masyarakat yang Islami. Namun, perlu dimaklumi juga bahwa hasil yang didapati dari pendekatan antropologis ini adalah tidak terbatas pada apa yang diungkapkan di atas saja.
Fungsi utama dari pendekatan antropologis dalam mengkaji Islam pada konteks sebuah tatanan masyarakat saat ini, jika dihadapkan oleh berbagai polemik yang mencuat di kalangan umat Islam sendiri tentang banyaknya perbedaan-perbedaan yang timbul; bahwa, “Hasil kajian antropologi terhadap realitas kehidupan konkrit di lapangan  akan dapat membantu tumbuhnya saling pemahaman antar berbagai  paham dan penghayatan keberagamaan yang sangat bermacam-macam dalam kehidupan riil masyarakat Islam baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional.”

2.3 Pendekatan Antropologi dalam Pergumulan Budaya Islam dengan Budaya Lokal
Relasi antara Islam sebagai agama dengan adat dan budaya lokal  sangat jelas dalam kajian antropologi agama. Dalam perspektif ini diyakini, bahwa agama merupakan penjelmaan dari sistem budaya. Berdasarkan teori ini, Islam sebagai agama samawi dianggap merupakan penjelmaan dari sistem budaya suatu masyarakat Muslim. Tesis ini kemudian dikembangkan pada aspek-aspek ajaran Islam, termasuk aspek hukumnya. Para pakar antropologi dan sosiologi mendekati hukum Islam sebagai sebuah institusi kebudayaan Muslim. Pada konteks sekarang, pengkajian hukum dengan pendekatan sosiologis dan antrologis sudah dikembangkan oleh para ahli hukum Islam yang peduli terhadap nasib syari’ah. Dalam pandangan mereka, jika syari’ah tidak didekati secara sosio-historis, maka yang terjadi adalah pembakuan terhadap norma syariah yang sejatinya bersifat dinamis dan mengakomodasi perubahan masyarakat.
Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ‘khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam. Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya (Madjid, 2000).
Islam sebagai agama, kebudayaan dan peradaban besar dunia sudah sejak awal masuk ke Indonesia pada abad ke-7 dan terus berkembang hingga kini. Ia telah memberi sumbangsih terhadap keanekaragaman kebudayaan nusantara. Islam tidak saja hadir dalam tradisi agung [great tradition] bahkan memperkaya pluralitas dengan Islamisasi kebudayaan dan pribumisasi Islam yang pada gilirannya banyak melahirkan tradisi-tardisi kecil [little tradition] Islam.
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
Dengan demikian pendekatan antropologi dalam mengkaji agama berarti menggunakan cara-cara yang digunakan oleh disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah dalam upaya memahami agama. Menurut Amin Abdullah cara kerja –yang dalam hal ini bisa kita artikan sebagai langkah dan tahapan- pendekatan antropologis pada penelitian agama memiliki empat ciri fundamental, meliputi.
1.         Deskriptif : Pendekatan antropologis  bermula dan diawali dari kerja lapangan (field work), berhubungan dengan orang dan –atau- masyarakat (kelompok) setempat yang diamati dalam jangka waktu yang lama. 
2.         Lokal Praktis : Pendekatan antropologis disertai praktik konkrit dan nyata di lapangan. Yakni, dengan ikut praktik di dalam peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan, semisal kelahiran, perkawinan, kematian dan pemakaman.
3.         Keterkaitan antar domain kehidupan  secara lebih utuh (connections across social domains) : Pendekatan antropologis mencari keterkaitan antara domain-domain kehidupan  sosial secara lebih utuh. Yakni, hubungan antara wilayah ekonomi, sosial, agama, budaya dan politik.  Hal ini dikarenakan hampir tidak ada satu pun domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri dan terlepas tanpa terkait dengan wilayah domain kehidupan yang lainnya.
4.         Komparatif (Perbandingan) : Pendekatan antropologis –perlu- melakukan perbandingan dengan berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama.
Melalui pendekatan antropologi sosok agama yang berada pada dataran empiris akan dapat dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan dirumuskan. Antropologi berupaya melihat hubungan antara agama dengan berbagai pranata sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan yang positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik.
Menurut kesimpulan penelitian antropologi, bahwa golongan masyarakat kurang mampu dan golongan miskin lain, pada umumnya lebih tertarik kepada gerakan keagamaan yang bersifat messianis, yaitu sebuah kepercayaan rakyat akan datangnya sosok yang dianggap mampu menebar keadilan dan ketenteraman, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi karena tatanan tersebut menguntungkan pihaknya.   Sebagai contoh sebagaimana disebut Robert N. Bellah tentang adanya korelasi positif antara ajaran agama Tokugawa, yakni semacam pencampuran antara agama Budha dan Sinto pada era pemerintahan Meiji dengan semangat etos kerja orang Jepang modern.
Contoh lain yang mencerminkan bahwa studi agama dan budaya lokal dapat dilakukan melalui pendekatan antropologi ialah sebagaimana kisah salah seorang dari Wali Songo atau dikenal juga dengan sebutan Sembilan Wali, yaitu Sunan Kalijaga yang  dalam berdakwah, ia punya pola yang sama dengan Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, sangat toleran pada budaya lokal dan berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah.
Dengan menggunakan pendekatan dan perspektif antropologi tersebut di atas dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan fenomena-fenomena keagamaan, ternyata tidak berdiri sendiri, dan tidak pernah terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Inilah makna dari penelitian antropologi dalam memahami gejala-gejala keagamaan. Agama sebagai fenomena kehidupan yang merefleksikan diri dalam sistem sosial budaya dan dalam bentuk prilaku berpola dapat dikaji dan diteliti melalui pendekatan antropologi dengan menggunakan partisipant observation (pengamatan terlibat). Pendekatan ini sangat ditekuni para ahli antroplogi untuk memahami prilaku yang tak dapat diukir secara kuantitatif, karena dapat digunakan untuk memahami berbagai aspek prilaku manusia beragama secara kualitatif, sebagaimana halnya keimanan, keikhlasan, keakraban, dan lain-lain konsep yang dibangun dalam kehidupan manusia beragama dapat lebih dipahami sebagai realitas sosial.
Dalam hal ini pendekatan antropologi  sebagaimana disebut M. Dawam Rahardjo dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, bahwa antropologi dalam kaitan ini lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan yang sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologi. Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan sebagai upaya untuk membebaskan diri dari kungkungan teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak.



























BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pendekatan antropologis adalah salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Fungsi utama dari pendekatan antropologis ialah bahwa ”Hasil kajian antropologi terhadap realitas kehidupan konkrit di lapangan  akan dapat membantu tumbuhnya saling pemahaman antar berbagai  paham dan penghayatan keberagamaan yang sangat bermacam-macam dalam kehidupan riil masyarakat Islam baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional”.
















DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim. 1990. Metodologi Penelitian Agama. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Ahmad, Akbar S. 1994. Kearah Antropologi Islam. Jakarta: Qultum Media.
Koentjaraningrat, dkk. 1984. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan & Kebudayaan.
Madjid, Nurcholish. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban. Cet. IV. Jakarta: Paramadina.
Nata, Abudin. 2000. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.