Termoregulasi
ialah proses yang terjadi pada hewan untuk mengatur suhu tubuhnya supaya tetap
konstan, paling tidak supaya suhu tubuhnya tidak mengalami perubahan yang
terlalu besar. Persoalannya, tidak semua hewan mampu mempertahankan suhu tubuh
yang konstan. Hewan yang mampu mempertahankan suhu tubuhnya dinamakan
homeoterm, sedangkan yang tidak mampu mempertahankan suhu tubuh disebut poikiloterm.
Mekanisme termoregulasi yang dilakukan hewan ialah dengan mengatur keseimbangan
antara perolehan dan kehilangan/pelepasan panas (Isnaeni, 2006).
Habitat hewan
dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu akuatis, terrestrial, dan aerial.
Hewan yang hidup di lingkungan terrestrial memiliki masalah akut terhadap
temperatur. Karena radiasi panas matahari, temperatur lingkungan dapat mencapai
lebih dari batas letal. Udara memiliki panas spesifik dan dapat mengalami
peningkatan atau kehilangan panas secara cepat. Setelah matahari terbenam,
panas akan menurun karena panas dari lingkungan hilang sehingga mungkin
mencapai batas temperatur rendah yang bersifat letal. Hewan terrestrial
memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam hal adaptasinya terhadap selama dia
hidup dalam kisaran temperatur normal. Di gurun, suhu akan melebihi batas
toleransi biologis dan pasir akan mencapai suhu 70oC sedangkan suhu
udara berkisar 50oC. Di daerah tropis dan subtropis, suhu dapat
mencapai dibawah titik beku (-65oC sampai -50oC)
(Santoso, 2009).
Hewan yang
tinggal di habitat akuatis tidak mengalami masalah dengan efek termal akut
seperti yang dialami oleh hewan terrestrial. Air memiliki panas yang spesifik
dan dapat mengalami penurunan atau peningkatan secara lamban, sehingga hanya
memiliki efek yang kecil terhadap temperatur. Perubahan termal tidak menjadi
masalah serius bagi hewan akuatis. Hewan aerial seperti burung memiliki suatu
batas toleransi termal yang lebih tinggi (35-42oC) berkenaan dengan
laju metabolismenya (Santoso, 2009).
Gambar
27. Kisaran
temperatur dari berbagai hewan
(Sumber: Rastogi (2007) dalam Santoso (2009))
A.
Pertukaran Panas antara Hewan dan Lingkungannya
Interaksi/pertukaran panas antara hewan dan lingkungannyadapat
terjadi melalui empat cara, yaitu konduksi, konveksi, radiasi, dan evaporasi.
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.
1.
Konduksi
Konduksi panas adalah perpindahan atau pergerakan panas antara dua
benda yang saling bersentuhan (Isnaeni, 2009). Panas akan selalu dihantarkan
dari benda bersuhu lebih tinggi ke benda bersuhu lebih rendah. Air 50 sampai
100 kali lebih efektif dalam hal menghantarkan panas dibandingkan dengan udara
(Campbell dkk, 2004).
Laju aliran panas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain luas permukaan benda yang saling bersentuhan, perbedaan suhu awal antara
kedua benda, dan konduktivitas panas dari kedua benda tersebut. Konduktivitas
panas ialah tingkat kemudahan untuk mengalirkan panas yang dimiliki suatu
benda. Setiap benda memiliki konduktivitas yang berbeda. Logam mempunyai
konduktivitas panas yang tinggi, sedangkan hewan memiliki konduktivitas panas
yang rendah. Berarti hewan merupakan penahan panas (insulator) yang baik.
Rambut dan bulu merupakan contoh insulator yang baik (Isnaeni, 2009).
2.
Konveksi
Konveksi adalah perpindahan panas melalui pergerakan udara atau
cairan melewati permukaan tubuh, seperti ketika tiupan angin turut
menghilangkan panas dari permukaan tubuh hewan yang berkulit kering (Campbell
dkk, 2004). Sebagai contoh, orang yang menggunakan kipas angin atau berkipas-kipas
karena kepanasan. Pada awalnya, udara di sekitar tubuh orang tersebut tidak
panas, namun sesaat kemudian berubah menjadi panas akibat adanya konduksi panas
dari tubuh orang tersebut. Setelah itu, udara panas itu mengalir atau berpindah
tempat, dan tempatnya digantikan oleh udara lain yang lebih dingin. Demikianlah
terjadi aliran panas secara konveksi. Perpindahan panas dari lingkungan ke
tubuh hewan juga dapat terjadi, contohnya ketika udara panas berhembus di dekat
kita, lama-kelamaan tubuh kita akan menjadi lebih panas juga (Isnaeni, 2006).
3.
Radiasi
Radiasi adalah perpindahan panas antara dua benda yang tidak saling
bersentuhan (Isnaeni, 2006). Hal ini disebabkan oleh adanya pancaran gelombang
elektromagnetik yang dihasilkan oleh semua benda yang lebih hangat dari suhu
absolut nol, termasuk tubuh hewan dan matahari (Campbell dkk, 2004).
Contohnya perpindahan panas dari matahari ke tubuh hewan, dari panas
perapian ke tubuh manusia, atau dari panas lampu OHP ke tubuh pemakai OHP.
Semakin tinggi suhu benda yang mengeluarkan radiasi, semakin tinggi pula
intensitas radiasinya. Selain dapat memancarkan panas, hewan juga dapat menyerap
panas (Isnaeni, 2006). Selain itu peneliti juga menemukan bahwa terdapat suatu
adaptasi spesifik pada beruang kutub. Pada awalnya rambut beruang kutub sangat
bersih dan bening, namun karena setiap rambut berfungsi menyerupai serabut
optik yang menghantarkan radiasi ultraviolet ke kulitnya yang hitam, di mana
energi diubah menjadi panas tubuh, sehingga membuat rambut beruang kutub
terlihat memiliki pigmen warna putih (Campbell dkk, 2004).
4.
Evaporasi
Evaporasi atau penguapan ialah proses perubahan benda dari fase
cair ke fase gas. Perubahan benda dari fase cair ke fase gas memerlukan
sejumlah besar energi dalam bentuk panas. Oleh karena itu, apabila air direbus
menggunakan panas api atau listrik, lama-kelamaan air tersebut akan berubah menjadi
uap. Evaporasi merupakan cara yang penting bagi hewan untuk melepaskan panas
dari tubuh. Sebagai contoh, jika suhu tubuh meningkat, manusia akan menanggapi
kenaikan suhu tubuh tersebut dengan mengeluarkan keringat. Selanjutnya,
keringat akan membasahi kulit, dan jika dibiarkan, keringat akan menyerap
kelebihan panas dari tubuh, yang akan mengubahnya menjadi uap. Oleh karena itu,
setelah keringat mengering, suhu tubuh pun turun (Isnaeni, 2006). Pertanyaannya, bagaimana dengan hewan yang
tidak memiliki kelenjar keringat? Diskusikan hal tersebut bersama temanmu!
B.
Termoregulasi Hewan
Berdasarkan
kemampuannya untuk mempertahankan suhu tubuh, hewan dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu poikiloterm dan homeoterm. Hewan poikiloterm yaitu hewan
yang suhu tubuhnya selalu berubah seiring dengan berubahnya suhu lingkungan. Sementara,
hewan homeoterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu konstan/tidak berubah
sekalipun suhu lingkungannya sangat berubah. Menurut konsep kuno, poikiloterm
sama dengan hewan berdarah dingin sedangkan homeoterm sama dengan hewan
berdarah panas. Namun, lebih baik kita tidak lagi menggunakan istilah tersebut
karena tidak tepat dan sering kali menimbulkan kebingungan. Sebagai contoh,
kadal dan mamalia yang hidup di gurun. Kadal adalah hewan poikiloterm. Kadal
adalah hewan poikiloterm, sementara mamalia adalah hewan homeoterm. Suhu tubuh
hewan poikiloterm biasanya lebih rendah daripada suhu tubuh hewan homeoterm.
Akan tetapi, pada saat tertentu ketika suhu di gurun mencapai 50oC,
suhu tubuh kadal dapat menjadi lebih tinggi (misalnya 42oC) daripada
suhu tubuh mamalia gurun, yang suhunya tetap sekitar 37oC atau 38oC.
Dalam contoh tersebut, sangat jelas bahwa penggunaan istilah hewan berdarah
dingin dan panas sama sekali tidak tepat. Coba kita renungkan, betapa
membingungkan apabila kadal dengan suhu tubuh 42oC dikatakan sebagai
hewan berdarah dingin, sementara mamalia yang suhu tubuhnya 37oC dan
38oC dikatakan sebagai hewan berdarah panas. Oleh karena itu, lebih
baik kita menggunakan istilah poikiloterm bagi “hewan berdarah dingin” dan
homeoterm bagi “hewan berdarah panas” (Isnaeni, 2006).
Hewan
poikiloterm dapat disebut sebagai ektoterm karena suhu tubuhnya ditentukan dan
dipengaruhi oleh suhu lingkungan eksternal. Sedangkan, hewan homeoterm dapat
disebut sebagai endoterm karena suhu tubuhnya diatur oleh produksi panas yang
terjadi di dalam tubuh. Sekalipun demikian, kita dapat menemukan adanya
beberapa pengecualian, misalnya pada insekta. Sebenarnya, insekta dikelompokkan
sebagai hewan ektoterm, tetapi ternyata ada beberapa insekta, misalnya lalat,
yang dapat menghasilkan tambahan panas tubuh dengan melakukan kontraksi otot.
Dengan alasan itu, lalat dikatakan bersifat endotermik sebagian (Isnaeni, 2006).
1.
Termoregulasi
pada Homeotermis
Hewan yang panas tubuhnya berasal dari dalam tubuh, sebagai hasil dari
proses metabolisme dalam tubuh disebut homeoterm/endoterm. Suhu tubuh hewan
endoterm dipertahankan agar tetap konstan, sekalipun suhu di lingkungannya
selalu berubah-ubah. Hewan endoterm meliputi burung dan mamalia yang disebut
pula sebagai hewan endoterm sejati. Namun, kenyataannya terdapat pula salah
satu anggota kelompok pisces, yaitu ikan tuna yang dapat mempertahankan suhu
pada beberapa bagian tubuhnya. Demikian pula ditemukan pada beberapa reptil,
seperti ular piton betina yang mampu mempertahankan suhu tubuhnya menjadi 5oC
lebih tinggi dibandingkan suhu lingkungannya (Isnaeni, 2006).
Pertukaran
panas antara tubuh dan lingkungan diregulasi melalui pusat termoregulasi di
hipotalamus yang berfungsi seperti termostat. Regulasi suhu tubuh akan
dilakukan dengan cara berikut ini (Santoso, 2009):
a.
Produksi
panas dan kehilangan panas akan berganti secara cepat dan lancar dalam
hubungannya dengan temperatur tubuh dan lingkungan. Ini adalah regulasi fisika
dari panas.
b.
Produksi
panas akan diregulasi oleh regulasi panas kimiawi yang dilakukan dengan
mempercepat laju metabolisme tubuh ketika kebutuhan panas tubuh meningkat.
Ketika suhu
tubuh hewan endoterm terlalu tinggi, tubuhnya akan melepaskan kelebihan panas
dengan beberapa cara yaitu berkeringat, terengah-engah, terjadinya vasodilatasi
daerah perifer tubuh, mengurangi/menurunkan laju metabolisme (misalnya dengan
menekan sekresi tiroksin), serta menimbulkan respons perilaku seperti berendam
di air, berkipas, dan lain sebagainya. Sedangkan ketika suhu tubuh terlalu
rendah, hewan akan meningkatkan produksi panas dengan cara vasokonstriksi,
menegakkan rambut, menggigil, meningkatkan laju metabolisme dengan sekresi
tiroksin, serta menimbulkan respons perilaku seperti menggosok telapak tangan,
membuat perapian, berselimut, dan lain sebagainya. Lain halnya jika suhu tubuh
hewan konstan (termoregulasi), tubuhnya akan mempertahankan suhu agar tetap
stabil/tidak berubah (Isnaeni, 2006).
2.
Termoregulasi
Pada Poikilotermis
Aktivitas
poikilotermis tergantung kepada suhu lingkungannya dan sehubungan dengan itu,
hewan-hewan kelompok ini tidak akan memerlukan energi terlalu besar untuk
termoregulasinya karena laju metabolismenya juga rendah dengan sedikit atau
tanpa adanya produksi panas. Dalam kondisi dingin suhu tubuhnya rendah dan di
kondisi panas maka suhu tubuh akan meningkat. Suhu tubuh akan meningkat karena
efek lingkungan dan laju metabolisme juga akan dipercepat. Oleh sebab itu tidak
ada laju metabolisme yang pasti pada poikilotermis dan akan berubah-ubah sesuai
temperatur lingkungan. Poikilotermis meregulasi suhu tubuhnya dengan mekanisme
fisika hanya melalui (Santoso, 2009):
a.
Insulasi
yang sedikit memungkinkan kehilangan panas lebih cepat dan mencegah akumulasi
panas yang tersimpan dalam tubuh.
b.
Suhu
tubuh di bagian dalam (core body
temperature) yang diukur dari bagian rektal) akan lebih rendah daripada
suhu lingkungannya.
c.
Pada
lingkungan yang tinggi, panas tubuh akan dikurangi melalui evaporasi.
d.
Pada
suhu lingkungan yang rendah, tidak ada proses regulasi spesifik untuk
memproduksi panas karena tidak ada regulasi kimiawi.
Berdasarkan habitatnya, maka poikilotermis dapat dibedakan menjadi
3 yaitu poikilotermis akuatik, poikilotermis terrestrial, dan poikilotermis
aerial. Regulasi termal pada poikilotermis akuatis adalah fenomena sederhana.
Pertukaran panaspada hewan akuatis sebagian besar terjadi melalui konduksi dan
konveksi. Suhulingkungan pada hewan akuatis relatif sabil, kendati
variasi-variasi musiman dapatterjadi di permukaan air laut dan danau. Pada
hewan akuatis yang tidak memilikiketahanan terhadap dingin, kendati suhu
lingkungan di atas titik beku tetap berisikoletal. Sebaliknya, sebagian besar
hewan akuatis juga tidak toleran terhadap suhu tinggi.Pada beberapa spesies,
kematian dapat terjadi kendati temperatur lingkungan masih dilevel dimana
protein biasanya terdenaturasi (Santoso, 2009).
Invertebrata akuatis dapat
mentoleransi kisaran fluktuasi temperatur yang lebih luas dibandingkan dengan
vertebrata poikilotermis. Vertebrata akuatis juga memiliki pola
termoregulasi yang spesifik. Ikan adalah hewan akuatis yang bernafas dengan
insang dimana suhu tubuhnya dipertahankan untuk tetap sama dengan suhu lingkungan.
Laju metabolismenya sangat rendah sehingga laju pertukaran panas juga rendah.
Seekor ikan yang berenang akan menghasilkan sejumlah panas berhubungan dengan
aktivitas muskular yang dapat meningkatkan temperatur tubuh secara temporer
akan tetapi segera akan kembali sama dengan suhu lingkungannya. Hal ini terjadi
karena panas tubuh yang dihasilkan dari aktivitas muskular akan segera
ditransfer ke darah dan mencapai insang yang kemudian segera berhubungan dengan
air (Santoso, 2009).
Gambar 28. Pertukaran panas pada ikan. Panas yang dihasilkan dari metabolisme
di otot akan dialirkan dari darah vena yang panas menuju darah arteri yang
lebih dingin
(Sumber: Santoso, 2009)
Hewan ektotermik terrestrial melakukan menyerap panas/radiasi
matahari sebagai sumber utama dalam memperoleh panas. Hewan dapat meningkatkan
penyerapan panas matahari dengan cara mengubah warna permukaan tubuhnya dan
menghadapkan tubuhnya ke arah matahari. Invertebrata ektotermik terrestrial
dapat mengubah warna tubuhnya menjadi lebih gelap untuk memperoleh panas
matahari lebih banyak, contohnya kumbang dan belalang rumput. Sebaliknya, jika
ingin melepaskan panas dari tubuhnya, invertebrata terrestrial akan menjauhi
sinar matahari, atau memanjat pohon. Vertebrata ektoterm, contohnya kadal, juga
melakukan hal yang sama seperti belalang dan kumbang yaitu berjemur untuk
menyerap panas radiasi matahari. Untuk memaksimalkan penyerapan radiasi, kadal
akan mengubah penyebaran melanin pada kulitnya sehingga warnanya menjadi lebih
gelap. Seperti belalang, kadal dapat pula mengurangi penyerapan panas dengan cara
berlindung di tempat teduh. Namun, ia juga dapat mengatur jumlah aliran darah
ke kulit dengan cara mengatur vasokontraksi atau vasodilatasi pembuluh darah.
Dapat disimpulkan bahwa kadal mempertahankan suhu tubuhnya dengan cara fisiologis
maupun dengan perilakunya (Isnaeni, 2004).
C.
Respons Hewan Terhadap Suhu Ekstrim
Perubahan temperatur berhubungan dengan perubahan fisiologis.
Hewan-hewan air memiliki laju metabolisme yang rendah dan tidak dapat
menyesuaikan diri terhadap perubahan suhu yang ekstrim. Sementara hewan terrestrial
memiliki kapasitas untuk menurunkan atau menaikkan laju metabolismenya selaras
dengan perubahan-perubahan termal (Santoso, 2009).
Hewan memperlihatkan respons yang berbeda terhadap suhu rendah.
Sebagian mencoba untuk menghindari suhu yang dingin dengan melakukan migrasi ke
daerah yang lebih panas. Migrasi burung dari daerah yang lebih dingin menuju
daerah yang lebih panas merupakan fenomena yang cukup familiar dan berlangsung
secara musiman. Hewan-hewan lainnya mengembangkan toleransi terhadap suhu
rendah dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan melalui hibernasi, atau
bersembunyi dalam lubang selama periode dingin dan tetap inaktif (Santoso,
2009).
Umumnya, suhu yang rendah memiliki efek-efek yang merugikan
terhadap proses kehidupan hewan. Jika hewan secara perlahan berhadapan dengan
suhu rendah, laju metabolismenya akan semakin rendah dan akhirnya mencapai
titik mematikan. Protoplasma sel berada dalam suatu larutan yang cair dan akan
membeku pada suhu beberapa derajat dibawa titik beku air. Pembekuan yang
perlahan akan menyebabkan pembentukan kristal-kristal air yang berefek letal
terhadap hewan. Sebaliknya, perubahan suhu menjadi dingin secara cepat tidak
menyebabkan pembentukan kristal es dan jaringan membeku dalam suatu fase komma
karena dingin bahkan dapat terawetkan. Hal ini disebut dengan super cooling.
Nematoda Vinegar dan berbagai spesies protozoa dapat bertahan hidup pada
temperatur -197oC jika diletakkan di dalam udara yang cair. Protozoa
dalam fase tertentu dan juga beberapa insekta dapat bertahan dalam periode yang
cukup panjang dalam kondisi dibawah titik beku. Hal tersebut berkenaan dengan
efek super cooling. Spesies-spesies insekta tertentu dapat bertahan
dalam kondisi super cooling dimana
kemampuan toleransinya berkisar antara -23oC sampai -30oC.
Pembekuan yang perlahan memiliki beberapa kerugian, yaitu:
1.
pembekuan
menyebabkan terbentuknya kristal es di dalam sel dan akan mengganggu organisasi
sel,
2.
metabolisme
akan menurun secara drastis dan konsumsi oksigen akan menjadi sangat rendah.
Hal ini karena difusi oksigen dan karbondioksida di es sangat lamban,
3.
enzim-enzim
akan menjadi inaktif.
Suhu ekstrim
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ekstrim dingin dan ekstrim panas. Adapun cara
adaptasi hewan ektoterm dan endoterm dalam menghadapi suhu ekstrim dapat
dilihat dalam tabel sebagai berikut.
Tabel
13. Cara hewan
ektoterm dan endoterm menghadapi suhu ekstrim
Kelompok
Hewan
|
Suhu
Ekstrim Dingin
|
Suhu
Ekstrim Panas
|
Endoterm
|
1.
Masuk ke dalam kondisi heterotermi,
yaitu mempertahankan perbedaan suhu di antara berbagai bagian tubuh.
2.
Hibernasi/torpor, yaitu penurunan suhu
tubuh yang berkaitan dengan adanya penurunan laju metabolisme, laju denyut
jantung, laju respirasi, dan sebagainya.
|
1.
meningkatkan penguapan melalui proses
berkeringat ataupun terengah-engah.
2.
Melakukan gular fluttering, yaitu menggerakan daerah kerongkongan secara
cepat dan terus-menerus dengan tujuan meningkatkan penguapan pada mulut dan
saluran pernapasan.
3.
Menggunakan strategi hipertemik, yaitu
mempertahankan atau menyimpan
kelebihan panas metabolik sehingga suhu tubuh meningkat sangat tinggi.
|
Ektoterm
|
1.
Menambah zat terlarut (biasanya berupa
gula, seperti fruktosa dan derivatnya, serta gliserol) ke dalam cairan
tubuhnya untuk meningkatkan konsentrasi osmotik agar dapat menurunkan titik
beku cairan tubuh hingga suhu di bawah 0oC. Gliserol bermanfaat
untuk melindungi membran dan enzim dari denaturasi akibat suhu yang sangat
dingin.
2.
Menambahkan protein (glikoprotein)
anti beku ke dalam cairan tubuh. Senyawa ini penting untuk menghambat
pembentukan kristal-kristal es di dalam sel dan mencegah kerusakan membran.
3.
Supercooling,
yaitu aktivitas menurunkan titik beku air sampai serendah -30oC -
-20oC.
|
1.
Meningkatkan laju pendinginan dengan
cara penguapan melalui kulit dan saluran napas.
2.
Mengubah mesin metaboliknya agar bisa
bekerja pada suhu tinggi. Hewan yang dapat melakukannya adalah kadal/reptil
gurun.
|
(Sumber:
Isnaeni, 2006).
Torpor merupakan suatu keadaan
fisiologis alternatif di mana metabolisme menurun dan jantung serta sistem
pernapasan mengalami perlambatan. Banyak hewan endotermik memasuki keadaan
torpor saat suhu tubuhnya menurun. Saat hal itu berlangsung, termostat tubuh
diturunkan, sehingga menghemat energi ketika persediaan makanan berkurang dan
suhu lingkungan menjadi ekstrim. Hibernasi adalah torpor jangka panjang di mana
selama periode tersebut suhu tubuh diturunkan sebagai adaptasi terhadap
dinginnya musim dingin dan kelangkaan makanan. Estivasi, atau torpor musim
panas, ditandai oleh metabolisme yang lambat dan keadaan inaktif. Keadaan
membuat seekor hewan mampu bertahan hidup dalam suhu tinggi untuk waktu yang
lama dan dalam kelangkaan persediaan air (Campbell dkk, 2004).
Untuk melihat daftar pustaka/sumber referensi dan materi Fisiologi Hewan lainnya, silahkan klik link di bawah ini:
No comments:
Post a Comment