A.
Reseptor Sensoris
Sensasi, dan persepsi yang dikembangkan di otak, diawali oleh
resepsi sensoris (sensory reception),
yaitu deteksi suatu energi suatu stimulus oleh sel-sel sensoris. Sebagian besar
reseptor sensoris adalah neuron atau sel-sel epitelium yang terspesialisasi
(khusus) yang terdiri dari sel itu sendiri atau dalam kelompok dengan jenis sel
lain di dalam organ sensoris, seperti mata dan telinga. Berdasarkan asal
stimulus yang dideteksi, reseptor sensoris dibedakan menjadi 2 macam, yaitu
eksteroreseptor dan interoreseptor. Eksteroreseptor mendeteksi stimulus dari
luar tubuh, seperti panas, cahaya, tekanan dan bahan kimia, sedangkan
interoreseptor mendeteksi stimulus yang berasal dari dalam tubuh, seperti
tekanan darah dan posisi tubuh (Campbell dkk, 2004).
Pada umumnya,
reseptor bekerja secara khusus. Artinya, reseptor tertentu hanya akan menerima
rangsang jenis tertentu. Jadi dalam satu individu hewan, dapat ditemukan
berbagai macam reseptor. Dalam sistem saraf, reseptor biasanya berhubungan
dengan saraf sensorik, sedangkan efektor berhubungan erat dengan saraf motorik.
Reseptor bertugas sebagai transduser (pengubah energi), yaitu mengubah energi
dari suatu bentuk tertentu menjadi bentuk energi yang lain. Pada saat sampai di
reseptor, semua energi dalam bentuk apapun akan segera diubah menjadi energi
listrik, yang selanjutnya akan membawa kepada perubahan elektrokimia sehingga
timbul potensial aksi (Isnaeni, 2006).
Proses timbulnya sensasi dimulai dari reseptor sensoris. Respons
yang diberikan reseptor sensoris merupakan balasan untuk adanya stimulus,
rangsangan yang mampu mengaktivasi reseptor sensori tertentu. Sebuah reseptor
sensoris hanya menanggapi dengan lemah atau tidak sama sekali menanggapi
stimulus lain yang tidak sesuai dengannya. Karakteristik dari reseptor sensoris
ini disebut sebagai selectivity.
Selain itu, reseptor sensoris memproduksi dua macam potensial membran dalam
menanggapi sebuah stimulus, yaitu potensial generator dan potensial aksi
(Tortora dkk, 2016). Agar sensasi dapat timbul/muncul, terjadi 4 peristiwa
sebagai berikut.
1.
Perangsangan
Reseptor Sensoris
Stimulus yang tepat harus terjadi di dalam receptive field dari reseptor sensoris, yang merupakan area di
tubuh yang jika mendapatkan rangsangan, ia akan menggerakan reseptor dan
memproduksi sebuah tanggapan/respons (Tortora dkk, 2016).
2.
Tranduksi
Stimulus
Sebuah reseptor sensoris mentransduksi (mengubah) energi yang
terdapat di dalam stimulus menjadi potensial membran (Tortora dkk, 2016).
Respons awal sel reseptor terhadap suatu stimulus adalah dengan mengubah
permeabilitas membrannya, sehingga menghasilkan suatu perubahan potensial
membran yang bergradasi, yang disebut potensial reseptor (Campbell dkk, 2004).
Ukuran dari potensial membran bergantung pada seberapa kuat
stimulus yang ada, dan tidak menjalar ke bagian lainnya (Tortora dkk, 2016).
Penguatan energi stimulus yang terlalu lemah untuk dibawa ke sistem saraf
disebut amplifikasi. Amplifikasi sinyal bisa terjadi dalam struktur aksesoris
suatu organ indera yang kompleks, seperti ketika gelombang suara ditingkatkan
20 kali lebih kuat sebelum mencapai reseptor telingan bagian dalam (Campbell
dkk, 2004).
Kebanyakan tipe dari reseptor sensori memperlihatkan karakter selectivity; ia hanya bisa mentransduksi
satu macam stimulus. Sebagai contoh, molekul bau di udara akan merangsang
reseptor olfaktori (reseptor penciuman) di hidung,
yang kemudian mengubah energi kimiawi molekul tersebut menjadi energi elektris
dalam bentuk potensial membran (Tortora dkk, 2016).
3.
Pembangkitan/Transmisi
Impuls Saraf
Ketika sebuah potensial aksi di dalam neuron mencapai ambang batas
perangsangan pada membran, ia memicu timbulnya satu atau lebih impuls saraf,
yang selanjutnya menyebar ke membran sel berikutnya untuk menuju sistem saraf
pusat. Neuron sensoris yang mengantarkan impuls dari sistem saraf tepi ke
sistem saraf pusat disebut first-order
neurons (Isnaeni (2006) dan Tortora dkk, (2016)).
4.
Integrasi
Input Sensoris
Sebuah daerah khusus di sistem saraf pusat menerima dan
mengintegrasi (mengolah informasi) impuls sensoris saraf. (Tortora dkk, 2016).
Sinyal dari reseptor diintegrasikan melalui sumasi atau penjumlahan potensial
yang bergradasi. Salah satu jenis integrasi oleh sel-sel reseptor adalah adaptasi sensori (sensory adaptation), suatu penurunan
responsivitas yang terjadi selama stimulasi berlangsung. Tanpa adaptasi
sensoris, Anda akan merasakan setiap denyut jantung dan setiap sentuhan pakaian
pada tubuh Anda. Reseptor bersifat selektif
dalam hal informasi yang dikirimkannya ke sistem saraf pusat, dan
adaptasi akan mengurangi kemungkinan penghantaran stimulus yang berkesinambungan
(Campbell dkk, 2004).
Sensasi sadar atau persepsi terintegrasi di dalam korteks serebral.
Kamu tampak melihat dengan menggunakan matamu, mendengar dengan menggunakan
telingamu, dan merasakan nyeri pada bagian yang terluka di tubuhmu karena
impuls sensoris dari berbagai bagian tubuh sampai di sebuah daerah spesifik
pada korteks serebral, yang mana menginterpretasikan sensasi yang datang dari
reseptor sensori yang dirangsang (Tortora dkk, 2016).
Terdapat
berbagai macam rangsang yang dapat diterima oleh hewan, sehingga terdapat
berbagai macam reseptor pula dalam tubuhnya. Berdasarkan jenis energi yang
ditransduksikan, reseptor sensoris dibedakan menjadi 7 macam yaitu
kemoreseptor, mekanoreseptor, termoreseptor, elektroreseptor, fotoreseptor,
magnetoreseptor, dan reseptor rasa sakit. Berbagai macam reseptor sensoris
dijelaskan sebagai berikut.
1.
Kemoreseptor
Kemoreseptor meliputi reseptor umum yang manghantarkan informasi
mengenai konsentrasi zat terlarut ttal dalam suatu larutan dan reseptor
spesifik yang merespons terhadap masing-masing jenis molekul. Osmoreseptor pada
otak mamalia, misalnya, adalah reseptor umum yang mendeteksi perubahan
konsentrasi zat terlarut total dalam darah dan merangsang rasa haus ketika
osmolaritas meningkat (Campbell dkk, 2004). Dalam proses penerimaan rangsangan
kimia (kemoreseptor), terjadi interaksi antara bahan kimia dengan kemoreseptor
membentuk kompleks bahan kimia-kemoreseptor. Kompleks tersebut mengawali proses
pembentukan potensial generator pada reseptor, yang akan segera menghasilkan
potensial aksi pada sel saraf sensoris dan sel berikutnya sehingga timbul
tanggapan. Proses pembentukan potensial generator pada kemoreseptor sama
seperti yang terjadi pada reseptor lainnya. Bedanya, rangsangan bagi
kemoreseptor ialah zat kimia (Isnaeni, 2006).
Kemoreseptor terdapat pada vertebrata maupun invertebrata. Pada
insekta, kemoreseptor terdapat pada bagian mulut, antena, dan kaki. Pada
umumnya, kemoreseptor ini berupa rambut atau duri sensoris yang kaku. Rambut
sensoris insekta memiliki susunan yang khas yang berfungsi sebagai
kemoreseptor, yakni 1 reseptor untuk gula, 1 untuk air, serta 1 atau 2 reseptor
untuk garam dan senyawa lainnya, di antara kemoreseptor tersebut juga ditemukan
adanya mekanoreseptor (reseptor taktil). Pada antena insekta sering ditemukan
adanya sel pembau, tetapi tidak selalu (Isnaeni, 2006).
Sebagian besar hewan juga mempunyai reseptor yang spesifik terhadap
molekul penting, seperti glukosa, oksigen, karbon dioksida, dan asam amino
(Campbell dkk, 2004). Kemoreseptor yang bersifat umum dan terdapat pada semua
hewan ialah reseptor pengecap (gustatoris) terutama untuk mengecap rasa pahit
dan reseptor penciuman (olfaktoris). Kemoreseptor juga sangat penting untuk
memantau kadar O2 dan CO2 dalam cairan tubuh serta untuk
menerima rangsangan feromon. Feromon merupakan zat kimia yang mudah menguap,
yang dilepaskan oleh hewan tertentu ke udara dan dapat digunakan sebagai sinyal
bagi hewan lain (Isnaeni, 2006).
Pada semua hewan, pengecapan (gustasi) dan penciuman (olfaksi)
sangat penting dalam perilaku pencarian dan pengambilan makanan. Indera gustasi
(pengecapan) dan olfaksi (penciuman) termasuk ke dalam kategori kemoresepsi.
Sel yang terspesialisasi berperan sebagai reseptor bagi beberapa zat kimiawi.
Setelah zat kimiawi ini bereaksi dengan reseptor, sebuah impuls dikirim ke otak
dan diartikan sebagai rasa atau bau. Gustasi dan olfaksi adalah indera kimiawi
karena reseptor yang ada pada mereka sensitif terhadap molekul di dalam makanan
yang kita makan, begitu pula dengan udara yang kita hirup (Wikibooks Contributors,
2006). Pada hewan terestrial, pengecapan adalah pendeteksian zat kimia tertentu
yang terdapat dalam suatu larutan, dan penciuman adalah pendeteksian zat kimia
yang ada di udara. Akan tetapi, kedua indera kimiawi ini umumnya saling
berhubungan erat, dan justru tidak ada bedanya ketika dalam lingkungan akuatik
(Campbell dkk, 2004).
Lidah merupakan indera perasa yang sangat fungsional. Mekanisme
transduksi sensoris pada lidah berlangsung secara spesifik. Molekul memasuki
taste bud (ujung penerima cita rasa) lalu mengikat molekul protein spesifik
didalam membran sel reseptor menyebabkan permiabilitas membran berubah sehingga
terbuka saluran dalam membran. Ion-ion menjadi terisi positif dan mengalir
masuk sel dari cairan yang di sekelilingnya dan mengubah voltage membran jadi
tinggi, dinamakan receptor potential.
Potensial ini adalah sinyal listrik dari transduksi sensori (Santoso,
2009).
Reseptor pengecapan pada serangga terletak pada rambut sensoris di
kaki dan mulut yang disebut sensila. Hewan menggunakan indera pengecapan untuk
menyeleksi makanan. Rambut pengecap mengandung sel kemoreseptor yang sensitif
terhadap golongan stimulus tertentu, seperti gula atau garam, dengan
mengintegrasikan sensasi (impuls saraf)
dari sel-sel reseptor yang berbeda ini, otak serangga ternyata dapat
membedakan jumlah pengecapan yang sangat banyak. Serangga dapat juga mencium
zat kimia yang terkandung di udara, dengan menggunakan sensila olfaktoris, yang
umumnya berlokasi di antena. Pada manusia dan mamalia lainnya, indera pengecapan
dan penciuman secara fungsional mirip dan saling berkaitan. Suatu molekul kecil
harus terlarut dalam cairan untuk mencapai sel reseptor dan memicu sensasi.
Molekul tersebut berikatan dengan protein spesifik pada membran sel reseptor,
yang memicu depolarisasi membran dan membebaskan neurotransmitter (Campbell
dkk, 2004).
Terdapat beberapa rasa yang mampu dideteksi oleh reseptor
pengecapan di lidah, yaitu asin, masam, pahit, manis, umami (lezat/sedap). Rasa
asin dapat dideteksi oleh reseptor yang hanya bisa diaktifkan oleh zat kimia
NaCl, masam dapat dideteksi oleh reseptor karena komponen acidic nya (larutan
ion H+), rasa pahit sendiri memiliki banyak sekali macam zat kimia spesifik
yang sangat berbeda satu sama lain, begitu pula dengan rasa manis serta umami.
Sebuah neuron reseptor olfaktori, yang juga disebut neuron sensori
olfaktori, merupakan sel transduktor utama di dalam sistem olfaktori. Manusia
memiliki sekitar 40 juta neuron reseptor olfaktori. Pada vertebrata, neuron
reseptor olfaktori terletak di epitelium olfaktori rongga nasal. Sel ini
bertipe neuron bipolar dengan dendrit yang menghadap ke ruang bagian dalam dari
rongga nasal dan sebuah akson yang pengoperasiannya bergantung pada indera
penciuman kita. Reseptor olfaktori tiap individu diganti kira-kira setiap 40
hari sekali oleh sel batang saraf yang terletak di epitelium olfaktori
(Wikibooks Contributors, 2006).Organ Olfaktori (hidung), ujungnya saraf berada
pada lapisan permukaan lubang hidung,
sensitif terhadap lingkungan yang bersifat kimia. Epitel olfaktori yang terdiri
dari sel-sel adalah organ yang menerima rangsangan. Tiap hewan berbeda
sensitivitasnya terhadap bau. Sel-sel itu diteruskannya ke akson (Santoso,
2009).
2.
Mekanoreseptor
Mekanoreseptor dirangsang oleh perubahan bentuk fisik yang
disebabkan oleh stimulus seperti tekanan, sentuhan, regangan, pergerakan, dan
suara—semua bentuk energi mekanis. Pembengkokan atau peregangan membran plasma
sebuah sel mekanoreseptor meningkatkan permeabilitas terhadap ion natrium
maupun ion kalium, yang menyebabkan depolarisasi (potensial reseptor) (Campbell
dkk, 2006).
Mekanisme sederhana yang diusulkan untuk menjelaskan mekanoreseptor
adalah sebagai berikut (Isnaeni, 2006).
a.
Saat
sel dalam keadaan istirahat, pintu ion Na+ pada membran mekanoreseptor
masih dalam keadaan tertutup.
b.
Rangsangan
mekanik yang menekan reseptor menyebabkan membran mekanoreseptor merenggang.
c.
Peregangan
membran mekanoreseptor tersebut menimbulkan perubahan konferensi protein
penyusun pintu ion Na+.
d.
Pintu
ion Na+ terbuka diikuti terjadinya perubahan elektrokimia yang
mendepolarisasikan mekanoreseptor.
Mekanoreseptor dapat terjadi pada vertebrata maupun invertebrata.
Invertebrata memiliki reseptor untuk menerima rangsang tekanan, suara, dan
gerakan. Pada vertebrata, mekanoreseptor bukan hanya dapat memantau panjang
otot, bahkan berfungsi sebagai alat pendengaran dan organ keseimbangan
(misalnya struktur di bagian dalam telinga) (Isnaeni, 2006). Sel rambut adalah
satu jenis mekanoreseptor yang umum dalam mendeteksi pergerakan. Sel-sel rambut
ditemukan dalam telinga vertebrata dan pada organ gurat sisi ikan serta
amfibia, di mana sel-sel itu mendeteksi pergerakan relatif terhadap lingkungan.
Rambut adalah silia atau mikrovili yang mengalami spesialisasi. “Rambut”
mencuat ke atas dari permukaan sel-sel rambut ke dalam kompartemen internal
seperti telinga bagian dalam manusia, atau ke lingkungan eksternal, seperti
kolam (Campbell dkk, 2004).
Satu contoh interoreseptor yang distimulasi oleh distorsi mekanis
adalah gelendong otot (muscle spindle),
atau reseptor regangan. Mekanoreseptor ini memonitor panjang otot rangka.
Gelendong otot mengandung serabut otot yang termodifikasi dan bertautan dengan
neuron sensoris serta tersusun sejajar dengan otot. Ketika otot itu
diregangkan, serabut gelendong otot juga akan meregang, yang mendepolarisasikan
neuron sensoris dan memicu potensial aksi yang dihantarkan kembali ke sumsum
tulang belakang ((Campbell dkk, 2004).
Peristiwa lain yang menggunakan prinsip dasar yang sama dengan
proses mendengar yaitu ekolokasi (proses mendengar gaung). Gaung sebenarnya
merupakan pantulan gelombang suara dari sumber suara yang pertama. Gelombang
suara yang muncul pertama berasal dari hewan yang melakukan ekolokasi, kemudian
dipantulkan oleh benda lain sehingga gaungnya dapat didengar. Ekolokasi
biasanya digunakan oleh hewan pada malam hari, misalnya burung yang tinggal di
gua, ikan paus, dan lumba-lumba, dan kelelawar Microchiropteran. Cara ini berguna untuk mendeteksi adanya mangsa
atau objek lain di sekitar hewan tersebut, dan dapat menunjukkan jarak antara
dirinya dan benda lain (Isnaeni, 2006).
Telinga (merupakan organ indera, sebagai reseptor pendengaran.
Telinga termasuk indera mekanoreseptor, memberikan respons
(tanggapan) getaran mekanik gelombang suara di udara. Frekuensi suara berbeda
dan informasi dihantarkan ke saraf pusat. Telinga mamalia dibagi 3 ruang:
telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam (Santoso, 2009).
a.
Telinga luar tempat masuknya getaran suara. Liang
telinga mengantarkan gelombang suara ke membran timpani dengan panjang pada
manusia kira-kira 2,5 cm
b.
Telinga tengah, rongga timpani, dilapisi mukosa,
yang berisi udara. Didalamnya terdapat 3 buah tulang telinga. Membran timpani,
membran fibrosa tipis yang berwarna kelabu. Berbentuk bulat dengan garis tengah
kira-kira 1 cm, sangat peka terhadap nyeri. Permukaan luarnya disarafi oleh
saraf auditorius. Tiga buah tulang telinga adalah (maleus, incus dan stapes).
Maleus berasal dari rawan Meckel, incus berasal dari tulang quadratum rahang
bawah dan stapes dari rawan hyomandibula.
c.
Telinga dalam atau labirin mengandung alat dengar
pada saluran cochlea, padanya ada organ Corti sebagai organ reseptor. Pada
organ Corti terdapat lantai basilar dimana ada sel-sel reseptor yang berperan
dalam transduksi yaitu pengubahan energi menjadi energi listrik (Santoso, 2009).
3.
Termoreseptor
Termoreseptor, yang merespons terhadap panas dan dingin, membantu
mengatur suhu tubuh dengan cara mendeteksi suhu permukaan dan bagian dalam
tubuh (Campbell dkk, 2004). Proses ini sangat penting bagi hewan, mengingat
perubahan suhu dapat berpengaruh buruk terhadap tubuh individu. Peningkatan
perubahan suhu secara ekstrem akan memegang struktur protein dan enzim sehingga
tidak dapat berfungsi secara maksimal. Hal ini dapat mengganggu penyelenggaraan
berbagai reaksi metabolik yang penting. Pada insekta, termoreseptor terdapat
pada antena dan kaki, berguna untuk memantau suhu di udara maupun tanah. Pada
mamalia, termoreseptor terdapat di kulit dan hipotalamus, masing-masing untuk
memantau suhu tubuh di bagian perifer dan pusat tubuh (Isnaeni, 2006).
4.
Fotoreseptor
Fotoreseptor
adalah reseptor yang mendeteksi radiasi yang kita kenal sebagai cahaya tampak,
sering kali diorganisasikan menjadi mata. Ular mempunyai reseptor infra merah
yang sangat sensitif dalam mendeteksi panas tubuh mangsa yang berada di
lingkungan yang lebih dingin (Campbell dkk, 2004). Hampir semua hewan dapat
mendeteksi cahaya. Bahkan hewan yang tidak memiliki struktur fotoreseptor
khusus, contohnya amoeba, ternyata juga dapat mendeteksi cahaya. Struktur
fotoreseptor bervariasi, dari yang paling sederhana berupa eye-spot daerah
sitoplasma yang peka terhadap cahaya,
seperti yang terdapat pada euglena) hingga struktur yang rumit dan
terorganisasi dengan baik seperti yang dimiliki vertebrata. Semua reseptor
bekerja menurut prinsip yang sama. Perbedaan cara kerja di antara reseptor
hanya terletak pada jenis rangsang yang diterima (Isnaeni, 2006).
Reseptor cahaya
dan kemampuan visual invertebrata sangat beragam, yang berkisar dari sebuah
mangkuk mata yang sensitif terhadap cahaya pada planaria sampai ke mata majemuk
pembentuk citra pada serangga dan krustasea dan mata berlensa tunggal pada
ubur-ubur, laba-laba, dan kebanyakan moluska (Campbell dkk, 2004). Pada cacing
pipih, fotoreseptor pada sepasang mata yang membentuk mangkuk. Apabila diberi
rangsangan cahaya, cacing pipih akan bergerak menghindarinya dan berusaha untuk
mencari daerah yang gelap guna memperkecil resiko tertangkap oleh pemangsa
(Isnaeni, 2006).
Sel
fotoreseptor pada vertebrata mempunyai banyak lipatan dan mengandung pigmen
yang umumnya berupa rodopsin. Rodopsin akan berubah jika ada cahaya yang
mengenai sel tersebut. Perubahan awal tersebut akan segera diikuti dengan
serangkaian perubahan berikutnya, yang akan membawa sel ke keadaan
terdepolarisasi (Isnaeni, 2006). Vertebrata mempunyai mata berlensa tunggal.
Bagian utama pada mata vertebrata adalah lapisan luar, yaitu sklera, yang
meliputi kornea transparan; konjungtiva,
membran mukosa, yang mengelilingi seluruh bagian sklera kecuali kornea; koroid,
lapisan tengah yang berpigmen, yang meliputi iris, yang mengelilingi pupil;
retina, lapisan bagian dalam pada bagian belakang bola mata yang mengandung sel
fotoreseptor; dan lensa, yang tersuspens di antara dua ruangan dalam mata, yang
memfokuskan cahaya pada retina (Campbell dkk, 2004).
Fotoreseptor yang sangat unik dapat ditemukan pada mata Artropoda,
yang memiliki susunan mata majemuk. Pada hewan ini mata tersusun atas sejumlah
unit optik yang lebih kecil, yang disebut omatidia.
Vertebrata dan Moluska jenis Cephalopoda mempunyai mata fesikuler yang
melengkapi retina. Burung dan mamalia memiliki lensa mata khas, yang dapat
berubah bentuk (berakomodasi) sedemikian rupa sehingga bayangan benda dapat
terfokus pada retina (Isnaeni, 2006).
Mata adalah organ indera yang rumit, bentuk seperti bola, bola
mata, sebagai medium refraksi yang terdiri dari aqueus humor (cairan bening),
lensa bikonveks, korpus vitreous humor dan retina. Di depan dilapisi selaput
transparan cornea yang mudah ditembus oleh cahaya. Cornea adalah bagian dari
sclera, lapisan tipis dari bagian jaringan ikat melapisi bola mata sebelah luar
Pupil adalah liang tempat masuk cahaya, berada ditengah-tengah iris, jaringan
ikat berpigmen dan memberi warna mata. Otot-otot iris mengatur besar liang
pupil.Cahaya masuk kedalam mata, berturut-turut: cornea - aqueus humor – lensa
- vitreous humor – retina. Lensa berfungsi untuk memfokuskan cahaya yang masuk
kedalam mata dan ditangkap di fovea sentralis pada retina. Fotoreseptor
berbentuk kerucut, bentuk modifikasi neuron(Santoso, 2009).
5.
Elektroreseptor
Reseptor elektro (electro
receptor) mendeteksi berbagai bentuk energi elektromagnetik, seperti cahaya
tampak dan listrik (Campbell dkk, 2004). Sejumlah hewan, terutama ikan hiu,
ikan pari, dan ikan berkumis (sejenis lele), mempunyai kemampuan mendeteksi
medan elektrik kecil dihasilkan oleh hewan lain. Medan elektrik yang sedemikian
itu dihasilkan oleh aktivitas otot dan berfungsi untuk mendeteksi adanya musuh
maupun makanan. Alat penerimaan rangsangan berupa medan elektrik itulah yang
disebut elektroreseptor. Elektroreseptor yang banyak dipelajari ialah reseptor
yang terdapat pada gurat sisi dan ampula Lorenzini
(Ikan hiu dan ikan pari). Ikan tersebut dapat menghasilkan medan listrik
secara terus-menerus ke lingkungannya. Apabila berdekatan dengan ikan lain yang
juga mengeluarkan medan listrik, keduanya dapat saling merasakan adanya
gangguan pada medan listrik yang menghasilkan masing-masing. Gangguan pada
medan elektrik ini akan dideteksi oleh elektro reseptor. Dengan cara seperti
itu, ikan dapat menyadari kehadiran hewan lain di dekatnya (Isnaeni, 2006).
Platipus, anggota golongan mamalia monotremata, mempunyai
elektroreseptor pada paruhnya yang kemungkinan dapat mendeteksi medan listrik
yang dibangkitkan oleh otot mangsa, seperti krustasea, kadal,
dan ikan-ikan kecil.
6.
Magnetoreseptor
Beberapa jenis hewan memiliki kemampuan untuk orientasi terhadap
medan magnet bumi. Kemampuan ini semacam ini bermanfaat dalam navigasi, yang
memungkinkan hewan mengenali sumbu utara-selatan. Contoh hewan yang memiliki
kemampuan ini ialah lebah madu, yang menggunakan medan magnetik bumi untuk
berkomunikasi. Hewan lain yang mampu menggunakan medan magnet untuk kembali ke
sarangnya ialah burung (Isnaeni, 2006). Selain berguna dalam navigasi untuk
kembali ke sarang dan berkomunikasi, terdapat pula hewan yang menggunakan garis
medan magnetik bumi untuk mengorientasikan arah dalam perjalanan bermigrasi,
salah satunya paus beluga.
Magnetit mineral yang mengandung besi ditemukan di tengkorak
beberapa burung dan mamalia (termasuk manusia), dalam abdomen lebah, pada
geligi beberapa jenis moluska, pada protista tertentu dan prokariota yang
mengorientasikan dirinya dengan mengacu pada medan magnetik bumi (Campbell dkk,
2004).
7.
Reseptor Rasa Sakit (Pain
Receptor)
Reseptor rasa sakit pada manusia merupakan kelompok dendrit
telanjang pada epidermis kulit yang disebut nosiseptor (nociceptor). Rasa sakit merupakan salah satu sensasi yang paling
penting karena stimulus diterjemahkan menjadi reaksi negatif, seperti penarikan
diri dari bahaya. Sebagian kecil individu terlahir tanpa sensasi rasa sakit
sama sekali. Mereka bisa mati akibat suatu kondisi seperti usus buntu yang
pecah, karena mereka tidak bisa merasakan rasa sakit yang berasosiasi dengan
kondisi tersebut dan dengan demikian tidak menyadari bahaya tersebut (Campbell
dkk, 2004).
Kelompok reseptor rasa sakit yang berbeda merespons terhadap panas
dan tekanan yang berlebihan, atau kelas zat kimia spesifik yang dibebaskan
secara berlebihan dari jaringan yang meradang. Beberapa zat kimia yang
menginduksi rasa sakit meliputi histamin dan asam. Prostaglandin meningkatkan
rasa sakit dengan membuat reseptor menjadi sensitif, yakni dengan menurunkan
nilai ambangnya. Aspirin dan ibuprofen mengurangi rasa sakit dengan cara menghambat
sisntesis prostaglandin (Campbell dkk, 2004).
Selain berdasarkan jenis energi yang ditransduksikan, reseptor
sensoris juga dapat dibedakan berdasarkan struktur mikroskopis serta
berdasarkan lokasi reseptor dan asal mula stimulus yang mengaktifkannya. Adapun
macam reseptor sensoris tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 18.
Klasifikasi reseptor berdasarkan struktur mikroskopis dan lokasinya di tubuh
Jenis Reseptor
|
Deskripsi
|
Berdasarkan
struktur mikroskopis
|
|
Ujung saraf tidak beraturan
(free nerve endings)
|
Merupakan
dendrit telanjang yang berhubungan dengan nyeri, paas, geli, dan beberapa
sensasi sentuhan lainnya.
|
Ujung saraf berbentuk kapsul
(encapsuled nerve endings)
|
Dendrit
mengelilingi kapsul jaringan penghubung, untuk tekanan, getaran, dan beberapa
sensasi sentuhan lainnya.
|
Ujung saraf dengan sel-sel yang
terbagi
|
Sel reseptor
bersinapsis dengan neuron sensori first-order,
berlokasi di dalam retina mata (fotoreseptor), dalam telinga (sel rambut),
dan indera pengecap di lidah (sel gustatori).
|
Berdasarkan
lokasi reseptor dan asal mula stimulus yang mengaktifkannya
|
|
Eksteroreseptor
|
Berlokasi di
atau dekat permukaan luar tubuh. Mereka sensitif terhadap stimuli yang
berasal dari luar tubuh dan memberikan informasi mengenai keadaan sekitar tubuh.
Sensasi mendengar, menbaui, melihat, mengecap, menyentuh, tekanan, getaran,
suhu, dan nyeri disampaikan oleh eksteroreseptor.
|
Interoreseptor/visceroreseptor
|
Berlokasi di
dalam pembuluh darah, organ visceral, otot, dan sistem saraf, serta bertuga
memonitor keadaan dalam tubuh. Impuls saraf yang diproduksi oleh
interoreseptor biasanya tidak dirasakan secara sadar; namun sesekali,
pergerakan dari interoreseptor oleh stimulus yang kuat memungkinkan untuk
terasa sebagai nyeri atau tekanan.
|
Proprioreseptor
|
Berlokasi di
dalam otot, tendon, sendi, dan daerah dalam telinga. Mereka memberikan
informasi tentang posisi tubuh, panjang dan tegangan otot, dan posisi serta
pergerakan dari sendi.
|
(Sumber:
Tortora dkk, 2016)
B.
Efektor
Efektor
ialah alat penghisap tanggapan biologis. Tanggapan yang dihasilkan oleh efektor
sangat bervariasi, mulai dari tanggapan yang dapat dilihat secara jelas
menggunakan mata (misalnya gerak tubuh yang dihasilkan oleh jaringan otot
dengan kemampuan kontraksinya) sampai tanggapan yang tidak terlihat mata
(misalnya sekresi hormon oleh organ endokrin dan perubaha beberapa aspek metabolisme
akibat adanya hormon) (Isnaeni, 2009).
Beberapa
jenis hewan mempunyai kemampuan untuk menghasilkan tanggapan berupa perubahan
warna kulit, misalnya cumi-cumi, oktopus, ikan flounder (ikan pipih), bunglon,
katak, dan ular. Perubahan warna dapat terjadi karena hewan mempunyai
kromatofor pada kulitnya. Kromatofor adalah sel yang mengandung pigmen. Di
bawah kendali endokrin, kramatofor dapat mengubah penyebaran pigmen pada sel
pigmen (terkumpul atau tersebar) dalam ukuran menit atau detik (Isnaeni, 2009).
Mekanisme
perubahan warna yang terjadi pada setiap spesies hewan tidak sama. Pada
cumi-cumi dan oktopus, kromatofor terkait oleh sel otot sehingga aktivitas
kontraksi-relaksasi otot akan mengubah penyebaran pigmen. Jika otot
berkontraksi, kromatofor pada cumi-cumi dan oktopus meluas dan pigmen tersebar.
Akibatnya, kulit tampak lebih gelap. Sebaliknya, pada saat otot berelaksasi,
kromatofor mengerut dan pigmen didalamnya terkumpul sehingga kulit tampak
berwarna lebih terang. Jadi, perubahan warna kulit pada cumi-cumi dan oktopus
tergantung pada aktivitas otot, sedangkan kontraksi otot dikendalikan oleh
saraf. Cara kerja kromatofor tersebut berbeda dengan cara kerja kromotofor
amfibi. Pada amfibi, kromotofor bekerja dengan penyebaran dan pengumpulan
pigmen secara sederhana, atau kadang-kadang dikendalikan oleh hormon (bukan
oleh saraf) (Isnaeni, 2009).
Berikut
ini adalah berbagai macam penerimaan rangsang dan reseptornyapada hewan.
1.
Tanggapan berupa
Pergerakan Intrasel
Sitoskeleton
merupakan rangka sel yang berfungsi mempertahankan bentuk sel dan melaksanakan
pergerakan sel maupun pergerakan organel di dalam sel. Sebagian besar dari sel
hewan (hampir semua) melakukan pergerakan sel, salah satunya adalah sel saraf. Pada
sel saraf terjadi pergerakan neurotransmitter yang disintesis dalam badan sel kemudian
dibawa ke ujung akson yang selanjutnya memicu terjadinya transmisi sinaptik.
Pergerakan pada amoeba juga tergantung pada adanya aliran sitoplasmik seperti yang
terjadi pada sel saraf.
2.
Tanggapan berupa
Pergerakan Ameboid
Pada
hewan multiseluler, gerakan ameboid dilakukan oleh sel darah putih yang
meninggalkan aliran darah dan masuk ke dalam jaringan yang rusak. Pada hewan
bersel satu (Amoeba), gerak ameboid terjadi dengan membentuk kaki semu
(pseudopodia). Ketika amoeba mendapat rangsang (misalnya rangsang makanan),
plasma gel (fase gel) di sebelah membran yang berdekatan dengan rangsang akan
berubah menjadi plasma sol (masuk ke fase sol). Adanya perubahan di satu sisi
tersebut menyebabkan timbul tekanan positif, sehingga aliran plasma sol akan
bergerak dari daerah bertekanan positif menuju ke daerah bertekanan negatif,
akhirnya, terbentuk pseudopodia yang dapat membuat amoeba bergerak. Penjelasan
di atas merupakan efek yang terjadi jika amoeba mendapat rangsang makanan,
sedangkan, jika amoeba mendapat rangsang cahaya, ia akan bergerak menjauhi
cahaya, dengan mekanisme yang tidak jauh berbeda. Gerakan pada amoeba juga
melibatkan aktin dan miosin.
3.
Tanggapan berupa
Pergerakan Otot
Selain
amoeba, aktin dan miosin juga berperan dalam pergerakan otot. Gerakan otot
sendiri merupakan hasil dari adanya gaya tarik-menarik antara aktin dan miosin.
Beberapa invertebrata, seperti annelida, moluska, dan sebagian besar artropoda,
memiliki 2 macam otot, yaitu otot polos dan otot lurik. Pada vertebrata,
umumnya memiliki 3 jenis otot, yaitu otot polos, otot lurik, dan otot jantung.
Otot jantung memiliki ciri dan sifat yang khusus. Mekanisme pergerakan otot
dimulai dari adanya impuls yang berasal dari saraf motorik yang sampai di saraf
mioneural (sinaps antara
saraf dan otot).
4.
Tanggapan berupa
Pelepasan Arus Listrik
Pelepasan
arus listrik oleh efektor hanya terjadi pada beberapa jenis ikan. Arus listrik
tersebut dihasilkan oleh organ elektrik, seperti yang terdapat pada Electrophorus electricus, belut listrik
yang berhabitat di sungai Nil. Arus listrik yang dikeluarkannya merupakan sebagai
benteng pertahanan yang ia ciptakan ketika merasa terancam, arus listrik yang
dikeluarkan dapat mencapai 750 volt, yang mampu membunuh hewan lain yang
besarnya hampir setara dengan tubuh manusia.
C.
ResponsHewan
pada Berbagai Lingkungan
1.
Respons terhadap
lingkungan akuatik
Lingkungan
akuatik adalah tempat hidup hewan yang berupa air, baik air tawar, laut, maupun
air payau. Sebagian besar permukaan bumi (lebih dari 70%) tertutup oleh air.
Sebagian besar dari perairan tersebut berupa lautan atau marine. Air tawar yang terdapat di danau dan sungai hanya merupakan
bagian kecil saja, yaitu 1% dari luas seluruh permukaan air dan hanya 0,01%
dari volume seluruh air laut. Kehidupan dapat dijumpai di berbagai kedalaman
air, baik pada dasar air yang padat maupun pada badan air yang kedalamannya
dapat mencapai 10.000 m atau lebih (Isnaeni, 2006)
2.
Respons terhadap
lingkungan Terrestrial
Keadaan
lingkungan terrestrial yang paling menguntungkan bagi hewan ialah ketersediaan
oksigen yang berlimpah sehingga hewan dapat memperolehnya dengan mudah.
Sementara, faktor lingkungan yang merupakan ancaman paling besar bagi kehidupan
terrestrial adalah bahaya radiasi dan dehidrasi (Isnaeni, 2006).
a.
Pengaruh Radiasi
terhadap Hewan
Semua
benda, termasuk hewan dan manusia, mampu menerima radiasi dari lingkungannya.
Kemampuan suatu benda untuk menerima radiasi yang sampai padanya dinamakan
absorbsivitas. Absorbsivitas suatu benda bervariasi. Kulit manusia dan bulu
binatang memiliki absorbsivitas yang tinggi untuk kisaran spektrum inframerah
(panjang gelombang sedang, yakni antara 5000-10.000 nm). Jika dihadapkan pada
sinar matahari secara langsung, kulit dan bulu serta rambut yang berwarna lebih
gelap akan menyerap energi lebih banyak daripada yang berwarna lebih terang
(Isnaeni, 2006).
Radiasi
merupakan salah satu mekanisme penting untuk menjaga panas pada tubuh hewan.
Radiasi ultraviolet dari matahari dapat menimbulkan efek mensterilkan,
khususnya terhadap protozoa yang ada di atmosfer/udara. Sinar ultraviolet yang
terserap secara selektif oleh asam nukleat di dalam sel akan mengubah asam
nukleat itu menjadi timin dimer siklobutan. Pembentukan timin dimer akan
menghambat replikasi DNA. Proses seperti inilah yang menyebabkan timbulnya efek
letal (mematikan) dan efek mutagenik terhadap organisme (Isnaeni, 2006).
b.
Ancaman Dehidrasi bagi
Hewan
Ancaman
dehidrasi dari lingkungan terrestrial
ternyata berkaitan
erat dengan peluang terjadinya penguapan air secara besar-besaran dari dalam
tubuh hewan. Tingkat penguapan yang tinggi sangat dipengaruhi oleh suhu udara
yang tinggi dan kelembapan yang rendah, serta faktor fisika lain seperti
kecepatan aliran udara (angin) dan luas permukaan benda yang mengalami
penguapan. Ancaman dehidrasi merupakan faktor pembatas bagi penyebaran hewan di
daerah terestrial. Agar dapat hidup pada lingkungan terrestrial, hewan harus
melakukan berbagai upaya untuk menghindarkan diri dari ancaman dehidrasi
(Isnaeni, 2006).
Untuk melihat daftar pustaka/sumber referensi dan materi Fisiologi Hewan lainnya, silahkan klik link di bawah ini:
No comments:
Post a Comment