A.
Pengertian
dan Pentingnya Osmoregulasi
Kemampuan
hewan untuk meregulasi konsentrasi air dan substansi terlarut lainnya dikenal
dengan istilah osmoregulasi.
Osmoregulasi sangat terkait erat dengan sistem ekskresi, dimana sistem tersebut
adalah salah satu bagian vital yang terlibat dalam pengaturan kadar air dan
substansi terlarut di dalam tubuh sehingga keseimbangan tetap terpelihara demi
kelangsungan fungsi-fungsi normal fisiologis. Volume dan komposisi larutan di
dalam cairan tubuh dikontrol secara tepat oleh organ ekskresi dengan membuang
atau mempertahankan kadarnya sesuai kebutuhan tubuh. Pada hewan akuatis, kulit
dan saluran pencernaan menjadi tempat yang penting bagi pengaturan garam-garam
dan air. Perkembangan medium internal seperti cairan tubuh (plasma darah dll)
membantu dalam menjaga komposisi seluler bukan hanya pada hewan-hewan yang
hidup di laut tetapi juga bagi spesies air tawar dan hewan terrestrial
(Santoso, 2009).
Osmoregulasi
adalah proses pengaturan konsentrasi cairan dengan menyeimbangkan pemasukan
serta pengeluaran cairan tubuh oleh sel atau organisme hidup, atau pengaturan
tekanan osmotik cairan tubuh yang layak bagi kehidupan sehingga proses-proses
fisiologis dalam tubuh berjalan normal (Pamungkas, 2012).Proses inti dalam
osmoregulasi yaitu osmosis. Osmosis adalah pergerakan air dari cairan yang
mempunyai kandungan air lebih tinggi (yang lebih encer) menuju ke cairan yang
mempunyai kandungan air lebih rendah (yang lebih pekat). Contoh osmosis ialah
pergerakan air dari larutan gula 5% menuju larutan gula 15% sampai tercipta
keadaan seimbang antara keduanya. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa
osmosis bar akan berhenti apabila kedua larutan mencapai konsentrasi yang sama,
yaitu sebesar 10%. Apabila keadaan ini telah tercapai, berarti kedua larutansudah
mencapai keadaan isotonis. Isotonis sering digunakan untuk menyebut dua macam
larutan yang mempunyai tekanan osmotik sama (isoosmotik) (Isnaeni, 2006).
Selain
isotonis, terdapat pula dua istilah lain yang menggambarkan kondisi larutan,
yaitu hipertonis dan hipotonis. Sebagai contoh, apabila sel darah merah
ditempatkan dalam air murni (aquades), sel darah akan dengan cepat memperoleh
pemasukan air dari luar, bahkan mungkin sampai membran selnya pecah. Dalam
contoh tersebut, aquades dikatakan bersifat hipotonis terhadap cairan dalam sel
darah merah. Sebaliknya, jika sel darah merah ditempatkan dalam larutan garam
dengan konsentrasi lebih dari 1%, sel darah tersebut akan segera kehilangan air
dengan cara osmosis sehingga akan mengerut. Dalam hal ini, larutan garam dengan
konsentrasi lebih dari 1% dikatakan bersifat hipertonis terhadap cairan dalam
sel darah merah. Dengan dasar kedua contoh tersebut maka larutan yang tidak
membuat sel kehilangan ataupun kemasukan air dikatakan bersifat isotonis. Jadi,
penentuan sifat suatu larutan/cairan sebagai cairan hipertonis, hipotonis, atau
isotonis sepenuhnya ditentukan oleh tanggapan yang dihasilkan oleh sel
(Isnaeni, 2006).
B.
Prinsip Osmosis
Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa osmosis merupakan proses inti dari osmoregulasi. Osmosis
adalah pergerakan air melintasi membran selektif permeabel yang memisahkan dua
larutan, dari tempat yang berkonsentrasi tinggi kadar airnya (larutan encer)
menuju tempat yang berkonsentrasi rendah kadar airnya (larutan pekat). Proses
ini akan terus berlangsung sampai tercipta suatu keseimbangan konsentrasi dari
dua sistem yang terpisah oleh membran tersebut. Membran selektif permeabel
adalah membran yang hanya melewatkan air sedangkan substansi-substansi lainnya
tidak dapat menembus membran tersebut (Santoso, 2009).
Tidak semua hewan dapat melakukan
osmoregulasi dengan baik. Hewan yang mampu melakukan osmoregulasi dengan baik
disebut hewan osmoregulator. Apabila tidak mampu mempertahankan tekanan osmotik
di dalam tubuhnya, hewan harus melakukan berbagai penyesuaian (adaptasi) agar
dapat bertahan di tempat hidupnya. Hewan yang memperlihatkan kemampuan demikian
dinamakan hewan osmokonformer (Isnaeni, 2006).
C.
Respons
Osmotik Hewan
1.
Respons
Hewan Akuatik
Regulasi
ion dan air pada hewan akuatik dapat terjadi secara hipertonik (hiperosmotik),
hipotonik (hipoosmotik), atau isotonik (isoosmotik). Bagi golongan ikan
potadromous yang bersifat hiperosmotik, air bergerak ke dalam dan ion-ion
keluar ke lingkungan perairan melalui cara difusi. Keseimbangan cairan tubuhnya
terjadi melalui cara dengan sedikit meminum air bahkan tidak minum air sama
sekali. Apabila terdapat kelebihan air dalam tubuh, maka air ini dikeluarkan
melalui urine. Bagi golongan ikan oseanodromous yang bersifat hipoosmotik
terhadap lingkungannya, air mengalir secara osmosis dari dalam tubuhnya melalui
ginjal, insang, dan kulit ke lingkungan; sedangkan ion-ion masuk ke dalam
tubuhnya secara difusi. Bagi golongan ikan eurihalin, maka pengaturan ion
dilakukan secara isoosmotik. Kebanyakan hewan akuatik laut baik invertebrata
maupun vertebrata termasuk ke dalam golongan isoosmotik (Lantu, 2010).
Pada
pembahasan kali ini, hewan akuatik akan digolongkan menjadi tiga jenis yaitu
hewan pada lingkungan air laut, lingkungan air tawar, dan lingkungan payau.
a. Osmoregulasi
Hewan pada Lingkungan Air Laut
Sebagian
besar hewan invertebrata laut memiliki cairan tubuh dengan tekanan osmotik yang
sama dengan air laut. Kondisi ini disebut dengan isoosmotik antara medium
tempat hidupnya dan cairan tubuhnya. Ketika ada perubahan pada konsentrasi
salah satu medium, hewan akan merespons dengan dua cara yaitu sebagai berikut
(Santoso, 2009).
1)
Mengubah konsentrasi
osmotik cairan tubuhnya untuk berkonformasi dengan medium eksternal, yang
dikenal dengan kelompok osmokonformer.
2)
Tetap mempertahankan
atau meregulasi konsentrasi osmotiknya terhadap perubahan-perubahan konsentrasi
eksternal, yang kelompok hewan ini disebut dengan osmoregulator. Sebagai contoh adalah kepiting laut yang tetap
mempertahankan konsentrasi garam dalam tubuhnya untuk tetap tinggi setelah
dipindahkan ke air payau yang lebih rendah kadar garamnya. Hewan air tawar
memiliki cairan tubuh yang secara osmotik lebih pekat daripada medium eskternal,
sehingga disebut sebagai kelompok hiperosmotik.
Jika hewan tersebut memiliki konsentrasi osmotik lebih rendah daripada medium
eksternalnya, seperti pada kelompok ikan teleosteii di laut, maka disebut
sebagai hiposmotik. Jika dua
sistem misalnya antara cairan tubuh dengan medium eksternalnya memiliki
konsentrasi osmotik yang sama maka disebut sebagai isosmotik. Istilah hipo-, hiper-, dan isosmotik bukan mencerminkan
komposisi larutan. Sebagai contoh, larutan 1 M KCl bersifat isosmotik dengan 1
M larutan NaCl karena keduanya memiliki jumlah partikel terlarut yang sama
(Santoso, 2009).
Cara
osmoregulasi pada vertebrata laut berbeda dengan osmoregulasi pada
invertebrata. Vertebrata laut dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
konformer osmotik dan ionik (osmokonformer) serta regulator osmotik dan ionik. Contoh
vertebrata laut yang membentuk keseimbangan osmotik dan ionik dengan air laut
adalah siklostomata (hagfish), yang
merupakan vertebrata primitif. Hewan ini melakukan osmoregulasi dengan cara
yang sama seperti yang dilakukan invertebrata laut. Teleostei laut, yang
mempunyai cairan tubuh hipoosmotik terhadap air laut, mempunyai mekanisme
adaptasi tertentu yang bermanfaat untuk menghindari kehilangan air dari
tubuhnya. Pada hewan ini, kehilangan air dari tubuh terutama terjadi melalui
insang. Sebagai penggantinya, hewan ini akan minum air laut dalam jumlah
banyak. Namun, cara tersebut menyebabkan garam yang ikut masuk ke dalam tubuh
menjadi banyak pula. Kelebihan garam ini harus dikeluarkan dari dalam tubuh.
Pengeluaran kelebihan garam dalam jumlah besar dilakukan melalui insang, karena
insang akan mengandung sel khusus yang disebut sel klorid. Sel klorid ialah sel
yang berfungsi untuk mengeluarkan NaCl
dari plasma ke air laut secara aktif (Isnaeni, 2006).
Elasmobrankhii
memiliki masalah berupa pemasukan Na+ yang terlalu banyak ke dalam tubuhnya
(melalui insang). Untuk mengatasi masalah tersebut, elasmobrankhii menggunakan
kelenjar khusus, yaitu kelenjar rektal, yang sangat penting untuk mengeluarkan
kelebihan Na+ secara aktif. Kelenjar rektak merupakan kelenjar khusus yang
terbuka ke arah rektum dan menyekresikan cairan yang kaya NaCl. Masalah lain
yang dihadapi elasmobrankhii ialah adanya perolehan air yang terlalu sedikit.
Untuk megatasinya, hewan ini menghasilkan sedikit urin. Sekalipun hanya
sedikit, urin tersebut juga dimanfaatkan untuk mengeluarkan kelebihan NaCl
(Isnaeni, 2006).
Sejumlah
mamalia laut, contohnya lumba-lumba dan ikan paus, menghadapi masalah pemasukan
garam yang terlalu banyak ke dalam tubuhnya, yang masuk bersama makanan.
Masalah tersebut diatasi dengan dimilikinya ginjal yang snagat efisien sehingga
dapat menghasilkan urin yang sangat pekat. Dengan ginjal semacam itu, dapat
dipastikan bahwa kelebihan garam dapat dikeluarkan dari tubuh. Urin yang
dihasilkan mempunyai kepekatan 3-4 kali dari cairan plasmanya (Isnaeni, 2006).
b.
Osmoregulasi
Hewan pada Lingkungan Air Laut
Masalah
yang dihadapi hewan air tawar merupakan kebalikan dari masalah yang dihadapi
hewan air laut. Hewan air tawar mempunyai cairan tubuh dengan tekanan osmotik
yang lebih tinggi dari lingkungannya(hiperosmotik/hipertonis). Berarti, mereka
terancam oleh dua hal utama, yaitu kehilangan garam dan pemasokan air yang
berlebihan (Isnaeni, 2006).
Vertebrata
dan invertebrata air tawar membatasi pemasukan air (dan kehilangan ion) dengan
cara membentuk permukaan tubuh yang impermeabel terhadap air. Meskipun
demikian, air dan ion tetap dapat bergerak melewati insang yang relatif terbuka.
Air yang masuk ke dalam tubuh invertebrata dikeluarkan dalam bentuk urin. Laju
aliran urin pada invertebrata air tawar jauh lebih tinggi daripada yang dialami
oleh hewan laut (Isnaeni, 2006).
Akan
tetapi, pengeluaran urin juga menyebabkan pengeluaran ion. Oleh karena itu,
hewan perlu melakukan transpor aktif untuk memasukkan ion ke dalam tubuhnya.
Pada krustasea air tawar, transpor aktif ion terjadi melalui insang. Vertebrata
air tawar melakukan hal yang hampir sama dengan invertebrata air tawar, yaitu
memasukkan ion dan garam dengan transpor aktif. Sebenarnya, penggantian ion
yang terlepas ke dalam air dapat dilakukan dengan makan, namun sumber masukkan
ion yang utama adalah transpor aktif melalui insang (Isnaeni, 2006).
Cairan
tubuh teleostei air tawar memiliki konsentrasi osmotik yang lebih tinggi dari
air tawar (mendekati 300mOsm per liter). Oleh karena itu, hewan ini memiliki
peluang yang besar untuk memasukkan air ke dalam tubuhnya, terutama melalui
insang. Kelebihan air itu akan dikeluarkan lewat urin, namun dengan cara itu sejumlah
garam pun akan hilang dari tubuh bersama urin. Sebagian garam meninggalkan
tubuh ikan melalui insang. Sebagai pengganti garam yang hilang, hewan tersebut
akan mengambil garam melalui insang dengan cara transpor aktif. Dalam hal ini,
insang berfungsi sebagai alat untuk memasukkan garam ke dalam tubuh dengan cara
transpor aktif, sekaligus untuk membuang kelebihan garam secara difusi
(Isnaeni, 2006).
c.
Osmoregulasi
Hewan pada Lingkungan Payau
Tidak
semua hewan akuatik selamanya menetap di habitat yang sama (air laut atau air
tawar). Sejumlah hewan laut maupun hewan air tawar pada saat-saat tertentu
masuk ke daerah payau. Lingkungan payau ialah lingkungan akuatik di daerah
pantai, yang merupakan tempat pertemuan antara air sungai dan laut. Pada
beberapa jenis ikan seperti lamprey, salmon, dan belut, perpindahan antara air
tawar dan air bergaram merupakan bagian dari siklus hidup yang normal (Isnaeni,
2006).
Contoh
hewan yang dapat hidup di lingkungan payau adalah larva dari beberapa jenis
nyamuk. Larva tersebut umumnya dapat tumbuh dengan sama baiknya, baik di air
tawar maupun di air bergaram yang beberapa kali lebih pekat dari cairan
hemolimfenya. Bahkan, larva tersebut juga dapat menoleransi kadar garam yang
tiga kali lebih tinggi daripada kadar garam air laut. Contoh hewan lain yang
melakukan perpindahan dari air laut ke air tawar dan sebaliknya yaitu ikan
Teleostei, meskipun dengan kemampuan yang terbatas. Ketika berpindah dai air
tawar ke air laut, dalam waktu 10 hari belut akan kehilangan air secara
osmotik, yang besarnya mencapai 4% dari berat tubuhnya. Apabila hewan ini
diperlakukan sedemikian rupa sehingga tidak dapat minum air laut (misalnya
dengan cara menempatkan balon pada esofagusnya), belut tersebut akan
terus-menerus kehilangan air hingga akhirnya mengalami dehidrasi, dan segera
mati dalam beberapa hari. Namun, apabila belut dibiarkan kembali minum air
laut, berat tubuh yang hilang akan segera digantikan dan mencapai keadaan
seimbang dalam waktu 1-2 hari (Isnaeni, 2006).
2.
Respons
Hewan Terrestrial
Kehilangan air di tubuh hewan dapat terjadi dengan
sangat mudah melalui penguapan. Air yang hilang tersebut harus diganti.
Penguapan air dari tubuh hewan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor sebagai
berikut.
a.
Kandungan uap air di atmosfer; penguapan dapat ditekan apabila kandungan
air di atmosfer (kelembapan relatif) meningkat.
b.
Suhu; jika suhu atmosfer meningkat, penguapan akan bertambah cepat.
c.
Gerakan udara pada permukaan benda yang melakukan evaporasi; laju penguapan
meningkat, jika pergerakan udara meningkat (ada angin yang kuat)
d.
Tekanan barometrik; jika tekanan barometrik menurun, laju penguapan
bertambah.
e.
Luas permukaan penguapan; apabila daerah permukaan yang menghadap ke
lingkungan lebih luas, pelepasan air akan lebih besar/lebih cepat.
Invertebrata darat umumnya adalah golongan
Artropoda, insekta, dan laba-laba. Salah satu gambaran khas dari insekta ialah
adanya rangka luarnya yang memiliki lapisan kutikula. Kutikula tersebut
merupakan salah satu cara untuk memperkecil kehilangan air melalui permukaan
tubuh. Namun, tidak semua kutikula pada invertebrata darat dapat menghambat
kehilangan air dari dalam tubuh. Contohnya adalah cacing tanah yang justru
mengalami penguapan air 70 kali lebih besar dibandingkan dengan insekta.
Selain kutikula, cara lainnya untuk menghemat air
pada insekta adalah adanya penundaan ekspirasi. Insekta memiliki spirakel pada
trakeanya yang merupakan jalan pelepasan air. Ketika terjadi pertukaran udara
di dalam spirakel, tekanan dalam sistem trakea menjadi lebih rendah dari pada
tekanan atmosfer, sehingga udara dari atmosfer bergerak masuk ke dalam trakea,
sedangkan aliran udara keluar dari tubuh (yang dapat menyebabkan kehilangan
air) dapat ditunda. Insekta mengalami kehilangan air dalam jumlah yang sangat
sedikit melalui feses dan urin, hewan ini mengeluarkan zat sisa bernitrogen
dalam bentuk asam urat yang sangat tidak larut dalam air.
Pada vertebrata, salah satu upaya untuk mencegah
kehilangan banyak air adalah memiliki kulit kering dan bersisik, yang biasanya
dimiliki oleh hewan dari kelas reptil seperti ular, buaya, kadal, dan
kura-kura. Terdapat pula cara lain yaitu dengan mengeluarkan zat sisa bernitrogen
dalam bentuk asam urat dan mengeluarkan feses yang kering. Bahkan kadal dan kura-kura
mampu merabsorpsi urin encernya demi mengatasi dehidrasi. Pada burung yang
hidup di daerah pantai dan laut, kelebihan garam dalam tubuh merupakan salah
satu masalah yang dihadapinya. Untuk mengatasi hal tersebut, burung akan mengeluarkannya
melalui kelenjar garam yang terdapat di cekungan dangkal pada kepala bagian
atas di sebelah atas tiap matanya. Kelenjar serupa juga terdapat pada reptil.
Pada mamalia, air dalam tubuh diperoleh dari air
minum dan makanan, sedangkan kehilangan air dapat terjadi melalui keringat.
Oleh karena itu, salah satu upaya untuk mengatasi kehilangan banyak air adalah
dengan meminimalisir terjadinya produksi keringat, seperti ketika beberapa
hewan berada di bawah panas terik matahari, mereka akan mencoba untuk berteduh
di bawah naungan dan sebagainya. Pada mamalia gurun, yang akan sulit memperoleh
air minum, cara yang dilakukan adalah menyimpan cadangan air di dalam tubuh,
seperti onta yang menyimpan air di dalam punuknya.
Untuk melihat daftar pustaka/sumber referensi dan materi Fisiologi Hewan lainnya, silahkan klik link di bawah ini:
No comments:
Post a Comment