Beranda

Sunday, September 16, 2018

Fisiologi Hewan: Osmoregulasi


A.      Pengertian dan Pentingnya Osmoregulasi
Kemampuan hewan untuk meregulasi konsentrasi air dan substansi terlarut lainnya dikenal dengan istilah osmoregulasi. Osmoregulasi sangat terkait erat dengan sistem ekskresi, dimana sistem tersebut adalah salah satu bagian vital yang terlibat dalam pengaturan kadar air dan substansi terlarut di dalam tubuh sehingga keseimbangan tetap terpelihara demi kelangsungan fungsi-fungsi normal fisiologis. Volume dan komposisi larutan di dalam cairan tubuh dikontrol secara tepat oleh organ ekskresi dengan membuang atau mempertahankan kadarnya sesuai kebutuhan tubuh. Pada hewan akuatis, kulit dan saluran pencernaan menjadi tempat yang penting bagi pengaturan garam-garam dan air. Perkembangan medium internal seperti cairan tubuh (plasma darah dll) membantu dalam menjaga komposisi seluler bukan hanya pada hewan-hewan yang hidup di laut tetapi juga bagi spesies air tawar dan hewan terrestrial (Santoso, 2009).
Osmoregulasi adalah proses pengaturan konsentrasi cairan dengan menyeimbangkan pemasukan serta pengeluaran cairan tubuh oleh sel atau organisme hidup, atau pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh yang layak bagi kehidupan sehingga proses-proses fisiologis dalam tubuh berjalan normal (Pamungkas, 2012).Proses inti dalam osmoregulasi yaitu osmosis. Osmosis adalah pergerakan air dari cairan yang mempunyai kandungan air lebih tinggi (yang lebih encer) menuju ke cairan yang mempunyai kandungan air lebih rendah (yang lebih pekat). Contoh osmosis ialah pergerakan air dari larutan gula 5% menuju larutan gula 15% sampai tercipta keadaan seimbang antara keduanya. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa osmosis bar akan berhenti apabila kedua larutan mencapai konsentrasi yang sama, yaitu sebesar 10%. Apabila keadaan ini telah tercapai, berarti kedua larutansudah mencapai keadaan isotonis. Isotonis sering digunakan untuk menyebut dua macam larutan yang mempunyai tekanan osmotik sama (isoosmotik) (Isnaeni, 2006).
Selain isotonis, terdapat pula dua istilah lain yang menggambarkan kondisi larutan, yaitu hipertonis dan hipotonis. Sebagai contoh, apabila sel darah merah ditempatkan dalam air murni (aquades), sel darah akan dengan cepat memperoleh pemasukan air dari luar, bahkan mungkin sampai membran selnya pecah. Dalam contoh tersebut, aquades dikatakan bersifat hipotonis terhadap cairan dalam sel darah merah. Sebaliknya, jika sel darah merah ditempatkan dalam larutan garam dengan konsentrasi lebih dari 1%, sel darah tersebut akan segera kehilangan air dengan cara osmosis sehingga akan mengerut. Dalam hal ini, larutan garam dengan konsentrasi lebih dari 1% dikatakan bersifat hipertonis terhadap cairan dalam sel darah merah. Dengan dasar kedua contoh tersebut maka larutan yang tidak membuat sel kehilangan ataupun kemasukan air dikatakan bersifat isotonis. Jadi, penentuan sifat suatu larutan/cairan sebagai cairan hipertonis, hipotonis, atau isotonis sepenuhnya ditentukan oleh tanggapan yang dihasilkan oleh sel (Isnaeni, 2006).

B.       Prinsip Osmosis
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa osmosis merupakan proses inti dari osmoregulasi. Osmosis adalah pergerakan air melintasi membran selektif permeabel yang memisahkan dua larutan, dari tempat yang berkonsentrasi tinggi kadar airnya (larutan encer) menuju tempat yang berkonsentrasi rendah kadar airnya (larutan pekat). Proses ini akan terus berlangsung sampai tercipta suatu keseimbangan konsentrasi dari dua sistem yang terpisah oleh membran tersebut. Membran selektif permeabel adalah membran yang hanya melewatkan air sedangkan substansi-substansi lainnya tidak dapat menembus membran tersebut (Santoso, 2009).
Tidak semua hewan dapat melakukan osmoregulasi dengan baik. Hewan yang mampu melakukan osmoregulasi dengan baik disebut hewan osmoregulator. Apabila tidak mampu mempertahankan tekanan osmotik di dalam tubuhnya, hewan harus melakukan berbagai penyesuaian (adaptasi) agar dapat bertahan di tempat hidupnya. Hewan yang memperlihatkan kemampuan demikian dinamakan hewan osmokonformer (Isnaeni, 2006).

C.      Respons Osmotik Hewan
1.      Respons Hewan Akuatik
Regulasi ion dan air pada hewan akuatik dapat terjadi secara hipertonik (hiperosmotik), hipotonik (hipoosmotik), atau isotonik (isoosmotik). Bagi golongan ikan potadromous yang bersifat hiperosmotik, air bergerak ke dalam dan ion-ion keluar ke lingkungan perairan melalui cara difusi. Keseimbangan cairan tubuhnya terjadi melalui cara dengan sedikit meminum air bahkan tidak minum air sama sekali. Apabila terdapat kelebihan air dalam tubuh, maka air ini dikeluarkan melalui urine. Bagi golongan ikan oseanodromous yang bersifat hipoosmotik terhadap lingkungannya, air mengalir secara osmosis dari dalam tubuhnya melalui ginjal, insang, dan kulit ke lingkungan; sedangkan ion-ion masuk ke dalam tubuhnya secara difusi. Bagi golongan ikan eurihalin, maka pengaturan ion dilakukan secara isoosmotik. Kebanyakan hewan akuatik laut baik invertebrata maupun vertebrata termasuk ke dalam golongan isoosmotik (Lantu, 2010).
Pada pembahasan kali ini, hewan akuatik akan digolongkan menjadi tiga jenis yaitu hewan pada lingkungan air laut, lingkungan air tawar, dan lingkungan payau.
a.      Osmoregulasi Hewan pada Lingkungan Air Laut
Sebagian besar hewan invertebrata laut memiliki cairan tubuh dengan tekanan osmotik yang sama dengan air laut. Kondisi ini disebut dengan isoosmotik antara medium tempat hidupnya dan cairan tubuhnya. Ketika ada perubahan pada konsentrasi salah satu medium, hewan akan merespons dengan dua cara yaitu sebagai berikut (Santoso, 2009).
1)        Mengubah konsentrasi osmotik cairan tubuhnya untuk berkonformasi dengan medium eksternal, yang dikenal dengan kelompok osmokonformer.
2)        Tetap mempertahankan atau meregulasi konsentrasi osmotiknya terhadap perubahan-perubahan konsentrasi eksternal, yang kelompok hewan ini disebut dengan osmoregulator. Sebagai contoh adalah kepiting laut yang tetap mempertahankan konsentrasi garam dalam tubuhnya untuk tetap tinggi setelah dipindahkan ke air payau yang lebih rendah kadar garamnya. Hewan air tawar memiliki cairan tubuh yang secara osmotik lebih pekat daripada medium eskternal, sehingga disebut sebagai kelompok hiperosmotik. Jika hewan tersebut memiliki konsentrasi osmotik lebih rendah daripada medium eksternalnya, seperti pada kelompok ikan teleosteii di laut, maka disebut sebagai hiposmotik. Jika dua sistem misalnya antara cairan tubuh dengan medium eksternalnya memiliki konsentrasi osmotik yang sama maka disebut sebagai isosmotik. Istilah hipo-, hiper-, dan isosmotik bukan mencerminkan komposisi larutan. Sebagai contoh, larutan 1 M KCl bersifat isosmotik dengan 1 M larutan NaCl karena keduanya memiliki jumlah partikel terlarut yang sama (Santoso, 2009).
Cara osmoregulasi pada vertebrata laut berbeda dengan osmoregulasi pada invertebrata. Vertebrata laut dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu konformer osmotik dan ionik (osmokonformer) serta regulator osmotik dan ionik. Contoh vertebrata laut yang membentuk keseimbangan osmotik dan ionik dengan air laut adalah siklostomata (hagfish), yang merupakan vertebrata primitif. Hewan ini melakukan osmoregulasi dengan cara yang sama seperti yang dilakukan invertebrata laut. Teleostei laut, yang mempunyai cairan tubuh hipoosmotik terhadap air laut, mempunyai mekanisme adaptasi tertentu yang bermanfaat untuk menghindari kehilangan air dari tubuhnya. Pada hewan ini, kehilangan air dari tubuh terutama terjadi melalui insang. Sebagai penggantinya, hewan ini akan minum air laut dalam jumlah banyak. Namun, cara tersebut menyebabkan garam yang ikut masuk ke dalam tubuh menjadi banyak pula. Kelebihan garam ini harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Pengeluaran kelebihan garam dalam jumlah besar dilakukan melalui insang, karena insang akan mengandung sel khusus yang disebut sel klorid. Sel klorid ialah sel yang berfungsi  untuk mengeluarkan NaCl dari plasma ke air laut secara aktif (Isnaeni, 2006).
Elasmobrankhii memiliki masalah berupa pemasukan Na+ yang terlalu banyak ke dalam tubuhnya (melalui insang). Untuk mengatasi masalah tersebut, elasmobrankhii menggunakan kelenjar khusus, yaitu kelenjar rektal, yang sangat penting untuk mengeluarkan kelebihan Na+ secara aktif. Kelenjar rektak merupakan kelenjar khusus yang terbuka ke arah rektum dan menyekresikan cairan yang kaya NaCl. Masalah lain yang dihadapi elasmobrankhii ialah adanya perolehan air yang terlalu sedikit. Untuk megatasinya, hewan ini menghasilkan sedikit urin. Sekalipun hanya sedikit, urin tersebut juga dimanfaatkan untuk mengeluarkan kelebihan NaCl (Isnaeni, 2006).
Sejumlah mamalia laut, contohnya lumba-lumba dan ikan paus, menghadapi masalah pemasukan garam yang terlalu banyak ke dalam tubuhnya, yang masuk bersama makanan. Masalah tersebut diatasi dengan dimilikinya ginjal yang snagat efisien sehingga dapat menghasilkan urin yang sangat pekat. Dengan ginjal semacam itu, dapat dipastikan bahwa kelebihan garam dapat dikeluarkan dari tubuh. Urin yang dihasilkan mempunyai kepekatan 3-4 kali dari cairan plasmanya (Isnaeni, 2006).
b.      Osmoregulasi Hewan pada Lingkungan Air Laut
Masalah yang dihadapi hewan air tawar merupakan kebalikan dari masalah yang dihadapi hewan air laut. Hewan air tawar mempunyai cairan tubuh dengan tekanan osmotik yang lebih tinggi dari lingkungannya(hiperosmotik/hipertonis). Berarti, mereka terancam oleh dua hal utama, yaitu kehilangan garam dan pemasokan air yang berlebihan (Isnaeni, 2006).
Vertebrata dan invertebrata air tawar membatasi pemasukan air (dan kehilangan ion) dengan cara membentuk permukaan tubuh yang impermeabel terhadap air. Meskipun demikian, air dan ion tetap dapat bergerak melewati insang yang relatif terbuka. Air yang masuk ke dalam tubuh invertebrata dikeluarkan dalam bentuk urin. Laju aliran urin pada invertebrata air tawar jauh lebih tinggi daripada yang dialami oleh hewan laut (Isnaeni, 2006).
Akan tetapi, pengeluaran urin juga menyebabkan pengeluaran ion. Oleh karena itu, hewan perlu melakukan transpor aktif untuk memasukkan ion ke dalam tubuhnya. Pada krustasea air tawar, transpor aktif ion terjadi melalui insang. Vertebrata air tawar melakukan hal yang hampir sama dengan invertebrata air tawar, yaitu memasukkan ion dan garam dengan transpor aktif. Sebenarnya, penggantian ion yang terlepas ke dalam air dapat dilakukan dengan makan, namun sumber masukkan ion yang utama adalah transpor aktif melalui insang (Isnaeni, 2006).
Cairan tubuh teleostei air tawar memiliki konsentrasi osmotik yang lebih tinggi dari air tawar (mendekati 300mOsm per liter). Oleh karena itu, hewan ini memiliki peluang yang besar untuk memasukkan air ke dalam tubuhnya, terutama melalui insang. Kelebihan air itu akan dikeluarkan lewat urin, namun dengan cara itu sejumlah garam pun akan hilang dari tubuh bersama urin. Sebagian garam meninggalkan tubuh ikan melalui insang. Sebagai pengganti garam yang hilang, hewan tersebut akan mengambil garam melalui insang dengan cara transpor aktif. Dalam hal ini, insang berfungsi sebagai alat untuk memasukkan garam ke dalam tubuh dengan cara transpor aktif, sekaligus untuk membuang kelebihan garam secara difusi (Isnaeni, 2006).
c.       Osmoregulasi Hewan pada Lingkungan Payau
Tidak semua hewan akuatik selamanya menetap di habitat yang sama (air laut atau air tawar). Sejumlah hewan laut maupun hewan air tawar pada saat-saat tertentu masuk ke daerah payau. Lingkungan payau ialah lingkungan akuatik di daerah pantai, yang merupakan tempat pertemuan antara air sungai dan laut. Pada beberapa jenis ikan seperti lamprey, salmon, dan belut, perpindahan antara air tawar dan air bergaram merupakan bagian dari siklus hidup yang normal (Isnaeni, 2006).
Contoh hewan yang dapat hidup di lingkungan payau adalah larva dari beberapa jenis nyamuk. Larva tersebut umumnya dapat tumbuh dengan sama baiknya, baik di air tawar maupun di air bergaram yang beberapa kali lebih pekat dari cairan hemolimfenya. Bahkan, larva tersebut juga dapat menoleransi kadar garam yang tiga kali lebih tinggi daripada kadar garam air laut. Contoh hewan lain yang melakukan perpindahan dari air laut ke air tawar dan sebaliknya yaitu ikan Teleostei, meskipun dengan kemampuan yang terbatas. Ketika berpindah dai air tawar ke air laut, dalam waktu 10 hari belut akan kehilangan air secara osmotik, yang besarnya mencapai 4% dari berat tubuhnya. Apabila hewan ini diperlakukan sedemikian rupa sehingga tidak dapat minum air laut (misalnya dengan cara menempatkan balon pada esofagusnya), belut tersebut akan terus-menerus kehilangan air hingga akhirnya mengalami dehidrasi, dan segera mati dalam beberapa hari. Namun, apabila belut dibiarkan kembali minum air laut, berat tubuh yang hilang akan segera digantikan dan mencapai keadaan seimbang dalam waktu 1-2 hari (Isnaeni, 2006).
2.         Respons Hewan Terrestrial
Kehilangan air di tubuh hewan dapat terjadi dengan sangat mudah melalui penguapan. Air yang hilang tersebut harus diganti. Penguapan air dari tubuh hewan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor sebagai berikut.
a.         Kandungan uap air di atmosfer; penguapan dapat ditekan apabila kandungan air di atmosfer (kelembapan relatif) meningkat.
b.        Suhu; jika suhu atmosfer meningkat, penguapan akan bertambah cepat.
c.         Gerakan udara pada permukaan benda yang melakukan evaporasi; laju penguapan meningkat, jika pergerakan udara meningkat (ada angin yang kuat)
d.        Tekanan barometrik; jika tekanan barometrik menurun, laju penguapan bertambah.
e.         Luas permukaan penguapan; apabila daerah permukaan yang menghadap ke lingkungan lebih luas, pelepasan air akan lebih besar/lebih cepat.
Invertebrata darat umumnya adalah golongan Artropoda, insekta, dan laba-laba. Salah satu gambaran khas dari insekta ialah adanya rangka luarnya yang memiliki lapisan kutikula. Kutikula tersebut merupakan salah satu cara untuk memperkecil kehilangan air melalui permukaan tubuh. Namun, tidak semua kutikula pada invertebrata darat dapat menghambat kehilangan air dari dalam tubuh. Contohnya adalah cacing tanah yang justru mengalami penguapan air 70 kali lebih besar dibandingkan dengan insekta.
Selain kutikula, cara lainnya untuk menghemat air pada insekta adalah adanya penundaan ekspirasi. Insekta memiliki spirakel pada trakeanya yang merupakan jalan pelepasan air. Ketika terjadi pertukaran udara di dalam spirakel, tekanan dalam sistem trakea menjadi lebih rendah dari pada tekanan atmosfer, sehingga udara dari atmosfer bergerak masuk ke dalam trakea, sedangkan aliran udara keluar dari tubuh (yang dapat menyebabkan kehilangan air) dapat ditunda. Insekta mengalami kehilangan air dalam jumlah yang sangat sedikit melalui feses dan urin, hewan ini mengeluarkan zat sisa bernitrogen dalam bentuk asam urat yang sangat tidak larut dalam air.
Pada vertebrata, salah satu upaya untuk mencegah kehilangan banyak air adalah memiliki kulit kering dan bersisik, yang biasanya dimiliki oleh hewan dari kelas reptil seperti ular, buaya, kadal, dan kura-kura. Terdapat pula cara lain yaitu dengan mengeluarkan zat sisa bernitrogen dalam bentuk asam urat dan mengeluarkan feses yang kering. Bahkan kadal dan kura-kura mampu merabsorpsi urin encernya demi mengatasi dehidrasi. Pada burung yang hidup di daerah pantai dan laut, kelebihan garam dalam tubuh merupakan salah satu masalah yang dihadapinya. Untuk mengatasi hal tersebut, burung akan mengeluarkannya melalui kelenjar garam yang terdapat di cekungan dangkal pada kepala bagian atas di sebelah atas tiap matanya. Kelenjar serupa juga terdapat pada reptil.
Pada mamalia, air dalam tubuh diperoleh dari air minum dan makanan, sedangkan kehilangan air dapat terjadi melalui keringat. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk mengatasi kehilangan banyak air adalah dengan meminimalisir terjadinya produksi keringat, seperti ketika beberapa hewan berada di bawah panas terik matahari, mereka akan mencoba untuk berteduh di bawah naungan dan sebagainya. Pada mamalia gurun, yang akan sulit memperoleh air minum, cara yang dilakukan adalah menyimpan cadangan air di dalam tubuh, seperti onta yang menyimpan air di dalam punuknya.

No comments:

Post a Comment