Beranda

Sunday, September 16, 2018

Fisiologi Hewan: Termoregulasi


Termoregulasi ialah proses yang terjadi pada hewan untuk mengatur suhu tubuhnya supaya tetap konstan, paling tidak supaya suhu tubuhnya tidak mengalami perubahan yang terlalu besar. Persoalannya, tidak semua hewan mampu mempertahankan suhu tubuh yang konstan. Hewan yang mampu mempertahankan suhu tubuhnya dinamakan homeoterm, sedangkan yang tidak mampu mempertahankan suhu tubuh disebut poikiloterm. Mekanisme termoregulasi yang dilakukan hewan ialah dengan mengatur keseimbangan antara perolehan dan kehilangan/pelepasan panas (Isnaeni, 2006).
Habitat hewan dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu akuatis, terrestrial, dan aerial. Hewan yang hidup di lingkungan terrestrial memiliki masalah akut terhadap temperatur. Karena radiasi panas matahari, temperatur lingkungan dapat mencapai lebih dari batas letal. Udara memiliki panas spesifik dan dapat mengalami peningkatan atau kehilangan panas secara cepat. Setelah matahari terbenam, panas akan menurun karena panas dari lingkungan hilang sehingga mungkin mencapai batas temperatur rendah yang bersifat letal. Hewan terrestrial memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam hal adaptasinya terhadap selama dia hidup dalam kisaran temperatur normal. Di gurun, suhu akan melebihi batas toleransi biologis dan pasir akan mencapai suhu 70oC sedangkan suhu udara berkisar 50oC. Di daerah tropis dan subtropis, suhu dapat mencapai dibawah titik beku (-65oC sampai -50oC) (Santoso, 2009).
Hewan yang tinggal di habitat akuatis tidak mengalami masalah dengan efek termal akut seperti yang dialami oleh hewan terrestrial. Air memiliki panas yang spesifik dan dapat mengalami penurunan atau peningkatan secara lamban, sehingga hanya memiliki efek yang kecil terhadap temperatur. Perubahan termal tidak menjadi masalah serius bagi hewan akuatis. Hewan aerial seperti burung memiliki suatu batas toleransi termal yang lebih tinggi (35-42oC) berkenaan dengan laju metabolismenya (Santoso, 2009).


Gambar 27. Kisaran temperatur dari berbagai hewan
(Sumber: Rastogi (2007) dalam Santoso (2009))

A.      Pertukaran Panas antara Hewan dan Lingkungannya
Interaksi/pertukaran panas antara hewan dan lingkungannyadapat terjadi melalui empat cara, yaitu konduksi, konveksi, radiasi, dan evaporasi. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.
1.         Konduksi
Konduksi panas adalah perpindahan atau pergerakan panas antara dua benda yang saling bersentuhan (Isnaeni, 2009). Panas akan selalu dihantarkan dari benda bersuhu lebih tinggi ke benda bersuhu lebih rendah. Air 50 sampai 100 kali lebih efektif dalam hal menghantarkan panas dibandingkan dengan udara (Campbell dkk, 2004).
Laju aliran panas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain luas permukaan benda yang saling bersentuhan, perbedaan suhu awal antara kedua benda, dan konduktivitas panas dari kedua benda tersebut. Konduktivitas panas ialah tingkat kemudahan untuk mengalirkan panas yang dimiliki suatu benda. Setiap benda memiliki konduktivitas yang berbeda. Logam mempunyai konduktivitas panas yang tinggi, sedangkan hewan memiliki konduktivitas panas yang rendah. Berarti hewan merupakan penahan panas (insulator) yang baik. Rambut dan bulu merupakan contoh insulator yang baik (Isnaeni, 2009).
2.         Konveksi
Konveksi adalah perpindahan panas melalui pergerakan udara atau cairan melewati permukaan tubuh, seperti ketika tiupan angin turut menghilangkan panas dari permukaan tubuh hewan yang berkulit kering (Campbell dkk, 2004). Sebagai contoh, orang yang menggunakan kipas angin atau berkipas-kipas karena kepanasan. Pada awalnya, udara di sekitar tubuh orang tersebut tidak panas, namun sesaat kemudian berubah menjadi panas akibat adanya konduksi panas dari tubuh orang tersebut. Setelah itu, udara panas itu mengalir atau berpindah tempat, dan tempatnya digantikan oleh udara lain yang lebih dingin. Demikianlah terjadi aliran panas secara konveksi. Perpindahan panas dari lingkungan ke tubuh hewan juga dapat terjadi, contohnya ketika udara panas berhembus di dekat kita, lama-kelamaan tubuh kita akan menjadi lebih panas juga (Isnaeni, 2006).
3.         Radiasi
Radiasi adalah perpindahan panas antara dua benda yang tidak saling bersentuhan (Isnaeni, 2006). Hal ini disebabkan oleh adanya pancaran gelombang elektromagnetik yang dihasilkan oleh semua benda yang lebih hangat dari suhu absolut nol, termasuk tubuh hewan dan matahari (Campbell dkk, 2004).
Contohnya perpindahan panas dari matahari ke tubuh hewan, dari panas perapian ke tubuh manusia, atau dari panas lampu OHP ke tubuh pemakai OHP. Semakin tinggi suhu benda yang mengeluarkan radiasi, semakin tinggi pula intensitas radiasinya. Selain dapat memancarkan panas, hewan juga dapat menyerap panas (Isnaeni, 2006). Selain itu peneliti juga menemukan bahwa terdapat suatu adaptasi spesifik pada beruang kutub. Pada awalnya rambut beruang kutub sangat bersih dan bening, namun karena setiap rambut berfungsi menyerupai serabut optik yang menghantarkan radiasi ultraviolet ke kulitnya yang hitam, di mana energi diubah menjadi panas tubuh, sehingga membuat rambut beruang kutub terlihat memiliki pigmen warna putih (Campbell dkk, 2004).
4.         Evaporasi
Evaporasi atau penguapan ialah proses perubahan benda dari fase cair ke fase gas. Perubahan benda dari fase cair ke fase gas memerlukan sejumlah besar energi dalam bentuk panas. Oleh karena itu, apabila air direbus menggunakan panas api atau listrik, lama-kelamaan air tersebut akan berubah menjadi uap. Evaporasi merupakan cara yang penting bagi hewan untuk melepaskan panas dari tubuh. Sebagai contoh, jika suhu tubuh meningkat, manusia akan menanggapi kenaikan suhu tubuh tersebut dengan mengeluarkan keringat. Selanjutnya, keringat akan membasahi kulit, dan jika dibiarkan, keringat akan menyerap kelebihan panas dari tubuh, yang akan mengubahnya menjadi uap. Oleh karena itu, setelah keringat mengering, suhu tubuh pun turun (Isnaeni, 2006). Pertanyaannya, bagaimana dengan hewan yang tidak memiliki kelenjar keringat? Diskusikan hal tersebut bersama temanmu!

B.       Termoregulasi Hewan
Berdasarkan kemampuannya untuk mempertahankan suhu tubuh, hewan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu poikiloterm dan homeoterm. Hewan poikiloterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu berubah seiring dengan berubahnya suhu lingkungan. Sementara, hewan homeoterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu konstan/tidak berubah sekalipun suhu lingkungannya sangat berubah. Menurut konsep kuno, poikiloterm sama dengan hewan berdarah dingin sedangkan homeoterm sama dengan hewan berdarah panas. Namun, lebih baik kita tidak lagi menggunakan istilah tersebut karena tidak tepat dan sering kali menimbulkan kebingungan. Sebagai contoh, kadal dan mamalia yang hidup di gurun. Kadal adalah hewan poikiloterm. Kadal adalah hewan poikiloterm, sementara mamalia adalah hewan homeoterm. Suhu tubuh hewan poikiloterm biasanya lebih rendah daripada suhu tubuh hewan homeoterm. Akan tetapi, pada saat tertentu ketika suhu di gurun mencapai 50oC, suhu tubuh kadal dapat menjadi lebih tinggi (misalnya 42oC) daripada suhu tubuh mamalia gurun, yang suhunya tetap sekitar 37oC atau 38oC. Dalam contoh tersebut, sangat jelas bahwa penggunaan istilah hewan berdarah dingin dan panas sama sekali tidak tepat. Coba kita renungkan, betapa membingungkan apabila kadal dengan suhu tubuh 42oC dikatakan sebagai hewan berdarah dingin, sementara mamalia yang suhu tubuhnya 37oC dan 38oC dikatakan sebagai hewan berdarah panas. Oleh karena itu, lebih baik kita menggunakan istilah poikiloterm bagi “hewan berdarah dingin” dan homeoterm bagi “hewan berdarah panas” (Isnaeni, 2006).
Hewan poikiloterm dapat disebut sebagai ektoterm karena suhu tubuhnya ditentukan dan dipengaruhi oleh suhu lingkungan eksternal. Sedangkan, hewan homeoterm dapat disebut sebagai endoterm karena suhu tubuhnya diatur oleh produksi panas yang terjadi di dalam tubuh. Sekalipun demikian, kita dapat menemukan adanya beberapa pengecualian, misalnya pada insekta. Sebenarnya, insekta dikelompokkan sebagai hewan ektoterm, tetapi ternyata ada beberapa insekta, misalnya lalat, yang dapat menghasilkan tambahan panas tubuh dengan melakukan kontraksi otot. Dengan alasan itu, lalat dikatakan bersifat endotermik sebagian (Isnaeni, 2006).
1.         Termoregulasi pada Homeotermis
Hewan yang panas tubuhnya berasal dari dalam tubuh, sebagai hasil dari proses metabolisme dalam tubuh disebut homeoterm/endoterm. Suhu tubuh hewan endoterm dipertahankan agar tetap konstan, sekalipun suhu di lingkungannya selalu berubah-ubah. Hewan endoterm meliputi burung dan mamalia yang disebut pula sebagai hewan endoterm sejati. Namun, kenyataannya terdapat pula salah satu anggota kelompok pisces, yaitu ikan tuna yang dapat mempertahankan suhu pada beberapa bagian tubuhnya. Demikian pula ditemukan pada beberapa reptil, seperti ular piton betina yang mampu mempertahankan suhu tubuhnya menjadi 5oC lebih tinggi dibandingkan suhu lingkungannya (Isnaeni, 2006).
Pertukaran panas antara tubuh dan lingkungan diregulasi melalui pusat termoregulasi di hipotalamus yang berfungsi seperti termostat. Regulasi suhu tubuh akan dilakukan dengan cara berikut ini (Santoso, 2009):
a.         Produksi panas dan kehilangan panas akan berganti secara cepat dan lancar dalam hubungannya dengan temperatur tubuh dan lingkungan. Ini adalah regulasi fisika dari panas.
b.        Produksi panas akan diregulasi oleh regulasi panas kimiawi yang dilakukan dengan mempercepat laju metabolisme tubuh ketika kebutuhan panas tubuh meningkat.
Ketika suhu tubuh hewan endoterm terlalu tinggi, tubuhnya akan melepaskan kelebihan panas dengan beberapa cara yaitu berkeringat, terengah-engah, terjadinya vasodilatasi daerah perifer tubuh, mengurangi/menurunkan laju metabolisme (misalnya dengan menekan sekresi tiroksin), serta menimbulkan respons perilaku seperti berendam di air, berkipas, dan lain sebagainya. Sedangkan ketika suhu tubuh terlalu rendah, hewan akan meningkatkan produksi panas dengan cara vasokonstriksi, menegakkan rambut, menggigil, meningkatkan laju metabolisme dengan sekresi tiroksin, serta menimbulkan respons perilaku seperti menggosok telapak tangan, membuat perapian, berselimut, dan lain sebagainya. Lain halnya jika suhu tubuh hewan konstan (termoregulasi), tubuhnya akan mempertahankan suhu agar tetap stabil/tidak berubah (Isnaeni, 2006).
2.         Termoregulasi Pada Poikilotermis
Aktivitas poikilotermis tergantung kepada suhu lingkungannya dan sehubungan dengan itu, hewan-hewan kelompok ini tidak akan memerlukan energi terlalu besar untuk termoregulasinya karena laju metabolismenya juga rendah dengan sedikit atau tanpa adanya produksi panas. Dalam kondisi dingin suhu tubuhnya rendah dan di kondisi panas maka suhu tubuh akan meningkat. Suhu tubuh akan meningkat karena efek lingkungan dan laju metabolisme juga akan dipercepat. Oleh sebab itu tidak ada laju metabolisme yang pasti pada poikilotermis dan akan berubah-ubah sesuai temperatur lingkungan. Poikilotermis meregulasi suhu tubuhnya dengan mekanisme fisika hanya melalui (Santoso, 2009):
a.         Insulasi yang sedikit memungkinkan kehilangan panas lebih cepat dan mencegah akumulasi panas yang tersimpan dalam tubuh.
b.        Suhu tubuh di bagian dalam (core body temperature) yang diukur dari bagian rektal) akan lebih rendah daripada suhu lingkungannya.
c.         Pada lingkungan yang tinggi, panas tubuh akan dikurangi melalui evaporasi.
d.        Pada suhu lingkungan yang rendah, tidak ada proses regulasi spesifik untuk memproduksi panas karena tidak ada regulasi kimiawi.
Berdasarkan habitatnya, maka poikilotermis dapat dibedakan menjadi 3 yaitu poikilotermis akuatik, poikilotermis terrestrial, dan poikilotermis aerial. Regulasi termal pada poikilotermis akuatis adalah fenomena sederhana. Pertukaran panaspada hewan akuatis sebagian besar terjadi melalui konduksi dan konveksi. Suhulingkungan pada hewan akuatis relatif sabil, kendati variasi-variasi musiman dapatterjadi di permukaan air laut dan danau. Pada hewan akuatis yang tidak memilikiketahanan terhadap dingin, kendati suhu lingkungan di atas titik beku tetap berisikoletal. Sebaliknya, sebagian besar hewan akuatis juga tidak toleran terhadap suhu tinggi.Pada beberapa spesies, kematian dapat terjadi kendati temperatur lingkungan masih dilevel dimana protein biasanya terdenaturasi (Santoso, 2009).
Invertebrata akuatis dapat mentoleransi kisaran fluktuasi temperatur yang lebih luas dibandingkan dengan vertebrata poikilotermis. Vertebrata akuatis juga memiliki pola termoregulasi yang spesifik. Ikan adalah hewan akuatis yang bernafas dengan insang dimana suhu tubuhnya dipertahankan untuk tetap sama dengan suhu lingkungan. Laju metabolismenya sangat rendah sehingga laju pertukaran panas juga rendah. Seekor ikan yang berenang akan menghasilkan sejumlah panas berhubungan dengan aktivitas muskular yang dapat meningkatkan temperatur tubuh secara temporer akan tetapi segera akan kembali sama dengan suhu lingkungannya. Hal ini terjadi karena panas tubuh yang dihasilkan dari aktivitas muskular akan segera ditransfer ke darah dan mencapai insang yang kemudian segera berhubungan dengan air (Santoso, 2009).
Gambar 28. Pertukaran panas pada ikan. Panas yang dihasilkan dari metabolisme di otot akan dialirkan dari darah vena yang panas menuju darah arteri yang lebih dingin
(Sumber: Santoso, 2009)

Hewan ektotermik terrestrial melakukan menyerap panas/radiasi matahari sebagai sumber utama dalam memperoleh panas. Hewan dapat meningkatkan penyerapan panas matahari dengan cara mengubah warna permukaan tubuhnya dan menghadapkan tubuhnya ke arah matahari. Invertebrata ektotermik terrestrial dapat mengubah warna tubuhnya menjadi lebih gelap untuk memperoleh panas matahari lebih banyak, contohnya kumbang dan belalang rumput. Sebaliknya, jika ingin melepaskan panas dari tubuhnya, invertebrata terrestrial akan menjauhi sinar matahari, atau memanjat pohon. Vertebrata ektoterm, contohnya kadal, juga melakukan hal yang sama seperti belalang dan kumbang yaitu berjemur untuk menyerap panas radiasi matahari. Untuk memaksimalkan penyerapan radiasi, kadal akan mengubah penyebaran melanin pada kulitnya sehingga warnanya menjadi lebih gelap. Seperti belalang, kadal dapat pula mengurangi penyerapan panas dengan cara berlindung di tempat teduh. Namun, ia juga dapat mengatur jumlah aliran darah ke kulit dengan cara mengatur vasokontraksi atau vasodilatasi pembuluh darah. Dapat disimpulkan bahwa kadal mempertahankan suhu tubuhnya dengan cara fisiologis maupun dengan perilakunya (Isnaeni, 2004).

C.      Respons Hewan Terhadap Suhu Ekstrim
Perubahan temperatur berhubungan dengan perubahan fisiologis. Hewan-hewan air memiliki laju metabolisme yang rendah dan tidak dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan suhu yang ekstrim. Sementara hewan terrestrial memiliki kapasitas untuk menurunkan atau menaikkan laju metabolismenya selaras dengan perubahan-perubahan termal (Santoso, 2009).
Hewan memperlihatkan respons yang berbeda terhadap suhu rendah. Sebagian mencoba untuk menghindari suhu yang dingin dengan melakukan migrasi ke daerah yang lebih panas. Migrasi burung dari daerah yang lebih dingin menuju daerah yang lebih panas merupakan fenomena yang cukup familiar dan berlangsung secara musiman. Hewan-hewan lainnya mengembangkan toleransi terhadap suhu rendah dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan melalui hibernasi, atau bersembunyi dalam lubang selama periode dingin dan tetap inaktif (Santoso, 2009).
Umumnya, suhu yang rendah memiliki efek-efek yang merugikan terhadap proses kehidupan hewan. Jika hewan secara perlahan berhadapan dengan suhu rendah, laju metabolismenya akan semakin rendah dan akhirnya mencapai titik mematikan. Protoplasma sel berada dalam suatu larutan yang cair dan akan membeku pada suhu beberapa derajat dibawa titik beku air. Pembekuan yang perlahan akan menyebabkan pembentukan kristal-kristal air yang berefek letal terhadap hewan. Sebaliknya, perubahan suhu menjadi dingin secara cepat tidak menyebabkan pembentukan kristal es dan jaringan membeku dalam suatu fase komma karena dingin bahkan dapat terawetkan. Hal ini disebut dengan super cooling. Nematoda Vinegar dan berbagai spesies protozoa dapat bertahan hidup pada temperatur -197oC jika diletakkan di dalam udara yang cair. Protozoa dalam fase tertentu dan juga beberapa insekta dapat bertahan dalam periode yang cukup panjang dalam kondisi dibawah titik beku. Hal tersebut berkenaan dengan efek super cooling. Spesies-spesies insekta tertentu dapat bertahan dalam kondisi super cooling dimana kemampuan toleransinya berkisar antara -23oC sampai -30oC. Pembekuan yang perlahan memiliki beberapa kerugian, yaitu:
1.         pembekuan menyebabkan terbentuknya kristal es di dalam sel dan akan mengganggu organisasi sel,
2.         metabolisme akan menurun secara drastis dan konsumsi oksigen akan menjadi sangat rendah. Hal ini karena difusi oksigen dan karbondioksida di es sangat lamban,
3.         enzim-enzim akan menjadi inaktif.
Suhu ekstrim dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ekstrim dingin dan ekstrim panas. Adapun cara adaptasi hewan ektoterm dan endoterm dalam menghadapi suhu ekstrim dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 13. Cara hewan ektoterm dan endoterm menghadapi suhu ekstrim
Kelompok Hewan
Suhu Ekstrim Dingin
Suhu Ekstrim Panas
Endoterm
1.     Masuk ke dalam kondisi heterotermi, yaitu mempertahankan perbedaan suhu di antara berbagai bagian tubuh.
2.     Hibernasi/torpor, yaitu penurunan suhu tubuh yang berkaitan dengan adanya penurunan laju metabolisme, laju denyut jantung, laju respirasi, dan sebagainya.
1.     meningkatkan penguapan melalui proses berkeringat ataupun terengah-engah.
2.     Melakukan gular fluttering, yaitu menggerakan daerah kerongkongan secara cepat dan terus-menerus dengan tujuan meningkatkan penguapan pada mulut dan saluran pernapasan.
3.     Menggunakan strategi hipertemik, yaitu mempertahankan  atau menyimpan kelebihan panas metabolik sehingga suhu tubuh meningkat sangat tinggi.
Ektoterm
1.     Menambah zat terlarut (biasanya berupa gula, seperti fruktosa dan derivatnya, serta gliserol) ke dalam cairan tubuhnya untuk meningkatkan konsentrasi osmotik agar dapat menurunkan titik beku cairan tubuh hingga suhu di bawah 0oC. Gliserol bermanfaat untuk melindungi membran dan enzim dari denaturasi akibat suhu yang sangat dingin.
2.     Menambahkan protein (glikoprotein) anti beku ke dalam cairan tubuh. Senyawa ini penting untuk menghambat pembentukan kristal-kristal es di dalam sel dan mencegah kerusakan membran.
3.     Supercooling, yaitu aktivitas menurunkan titik beku air sampai serendah -30oC - -20oC.
1.     Meningkatkan laju pendinginan dengan cara penguapan melalui kulit dan saluran napas.
2.     Mengubah mesin metaboliknya agar bisa bekerja pada suhu tinggi. Hewan yang dapat melakukannya adalah kadal/reptil gurun.
(Sumber: Isnaeni, 2006).
Torpor merupakan suatu keadaan fisiologis alternatif di mana metabolisme menurun dan jantung serta sistem pernapasan mengalami perlambatan. Banyak hewan endotermik memasuki keadaan torpor saat suhu tubuhnya menurun. Saat hal itu berlangsung, termostat tubuh diturunkan, sehingga menghemat energi ketika persediaan makanan berkurang dan suhu lingkungan menjadi ekstrim. Hibernasi adalah torpor jangka panjang di mana selama periode tersebut suhu tubuh diturunkan sebagai adaptasi terhadap dinginnya musim dingin dan kelangkaan makanan. Estivasi, atau torpor musim panas, ditandai oleh metabolisme yang lambat dan keadaan inaktif. Keadaan membuat seekor hewan mampu bertahan hidup dalam suhu tinggi untuk waktu yang lama dan dalam kelangkaan persediaan air (Campbell dkk, 2004).


Fisiologi Hewan: Osmoregulasi


A.      Pengertian dan Pentingnya Osmoregulasi
Kemampuan hewan untuk meregulasi konsentrasi air dan substansi terlarut lainnya dikenal dengan istilah osmoregulasi. Osmoregulasi sangat terkait erat dengan sistem ekskresi, dimana sistem tersebut adalah salah satu bagian vital yang terlibat dalam pengaturan kadar air dan substansi terlarut di dalam tubuh sehingga keseimbangan tetap terpelihara demi kelangsungan fungsi-fungsi normal fisiologis. Volume dan komposisi larutan di dalam cairan tubuh dikontrol secara tepat oleh organ ekskresi dengan membuang atau mempertahankan kadarnya sesuai kebutuhan tubuh. Pada hewan akuatis, kulit dan saluran pencernaan menjadi tempat yang penting bagi pengaturan garam-garam dan air. Perkembangan medium internal seperti cairan tubuh (plasma darah dll) membantu dalam menjaga komposisi seluler bukan hanya pada hewan-hewan yang hidup di laut tetapi juga bagi spesies air tawar dan hewan terrestrial (Santoso, 2009).
Osmoregulasi adalah proses pengaturan konsentrasi cairan dengan menyeimbangkan pemasukan serta pengeluaran cairan tubuh oleh sel atau organisme hidup, atau pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh yang layak bagi kehidupan sehingga proses-proses fisiologis dalam tubuh berjalan normal (Pamungkas, 2012).Proses inti dalam osmoregulasi yaitu osmosis. Osmosis adalah pergerakan air dari cairan yang mempunyai kandungan air lebih tinggi (yang lebih encer) menuju ke cairan yang mempunyai kandungan air lebih rendah (yang lebih pekat). Contoh osmosis ialah pergerakan air dari larutan gula 5% menuju larutan gula 15% sampai tercipta keadaan seimbang antara keduanya. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa osmosis bar akan berhenti apabila kedua larutan mencapai konsentrasi yang sama, yaitu sebesar 10%. Apabila keadaan ini telah tercapai, berarti kedua larutansudah mencapai keadaan isotonis. Isotonis sering digunakan untuk menyebut dua macam larutan yang mempunyai tekanan osmotik sama (isoosmotik) (Isnaeni, 2006).
Selain isotonis, terdapat pula dua istilah lain yang menggambarkan kondisi larutan, yaitu hipertonis dan hipotonis. Sebagai contoh, apabila sel darah merah ditempatkan dalam air murni (aquades), sel darah akan dengan cepat memperoleh pemasukan air dari luar, bahkan mungkin sampai membran selnya pecah. Dalam contoh tersebut, aquades dikatakan bersifat hipotonis terhadap cairan dalam sel darah merah. Sebaliknya, jika sel darah merah ditempatkan dalam larutan garam dengan konsentrasi lebih dari 1%, sel darah tersebut akan segera kehilangan air dengan cara osmosis sehingga akan mengerut. Dalam hal ini, larutan garam dengan konsentrasi lebih dari 1% dikatakan bersifat hipertonis terhadap cairan dalam sel darah merah. Dengan dasar kedua contoh tersebut maka larutan yang tidak membuat sel kehilangan ataupun kemasukan air dikatakan bersifat isotonis. Jadi, penentuan sifat suatu larutan/cairan sebagai cairan hipertonis, hipotonis, atau isotonis sepenuhnya ditentukan oleh tanggapan yang dihasilkan oleh sel (Isnaeni, 2006).

B.       Prinsip Osmosis
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa osmosis merupakan proses inti dari osmoregulasi. Osmosis adalah pergerakan air melintasi membran selektif permeabel yang memisahkan dua larutan, dari tempat yang berkonsentrasi tinggi kadar airnya (larutan encer) menuju tempat yang berkonsentrasi rendah kadar airnya (larutan pekat). Proses ini akan terus berlangsung sampai tercipta suatu keseimbangan konsentrasi dari dua sistem yang terpisah oleh membran tersebut. Membran selektif permeabel adalah membran yang hanya melewatkan air sedangkan substansi-substansi lainnya tidak dapat menembus membran tersebut (Santoso, 2009).
Tidak semua hewan dapat melakukan osmoregulasi dengan baik. Hewan yang mampu melakukan osmoregulasi dengan baik disebut hewan osmoregulator. Apabila tidak mampu mempertahankan tekanan osmotik di dalam tubuhnya, hewan harus melakukan berbagai penyesuaian (adaptasi) agar dapat bertahan di tempat hidupnya. Hewan yang memperlihatkan kemampuan demikian dinamakan hewan osmokonformer (Isnaeni, 2006).

C.      Respons Osmotik Hewan
1.      Respons Hewan Akuatik
Regulasi ion dan air pada hewan akuatik dapat terjadi secara hipertonik (hiperosmotik), hipotonik (hipoosmotik), atau isotonik (isoosmotik). Bagi golongan ikan potadromous yang bersifat hiperosmotik, air bergerak ke dalam dan ion-ion keluar ke lingkungan perairan melalui cara difusi. Keseimbangan cairan tubuhnya terjadi melalui cara dengan sedikit meminum air bahkan tidak minum air sama sekali. Apabila terdapat kelebihan air dalam tubuh, maka air ini dikeluarkan melalui urine. Bagi golongan ikan oseanodromous yang bersifat hipoosmotik terhadap lingkungannya, air mengalir secara osmosis dari dalam tubuhnya melalui ginjal, insang, dan kulit ke lingkungan; sedangkan ion-ion masuk ke dalam tubuhnya secara difusi. Bagi golongan ikan eurihalin, maka pengaturan ion dilakukan secara isoosmotik. Kebanyakan hewan akuatik laut baik invertebrata maupun vertebrata termasuk ke dalam golongan isoosmotik (Lantu, 2010).
Pada pembahasan kali ini, hewan akuatik akan digolongkan menjadi tiga jenis yaitu hewan pada lingkungan air laut, lingkungan air tawar, dan lingkungan payau.
a.      Osmoregulasi Hewan pada Lingkungan Air Laut
Sebagian besar hewan invertebrata laut memiliki cairan tubuh dengan tekanan osmotik yang sama dengan air laut. Kondisi ini disebut dengan isoosmotik antara medium tempat hidupnya dan cairan tubuhnya. Ketika ada perubahan pada konsentrasi salah satu medium, hewan akan merespons dengan dua cara yaitu sebagai berikut (Santoso, 2009).
1)        Mengubah konsentrasi osmotik cairan tubuhnya untuk berkonformasi dengan medium eksternal, yang dikenal dengan kelompok osmokonformer.
2)        Tetap mempertahankan atau meregulasi konsentrasi osmotiknya terhadap perubahan-perubahan konsentrasi eksternal, yang kelompok hewan ini disebut dengan osmoregulator. Sebagai contoh adalah kepiting laut yang tetap mempertahankan konsentrasi garam dalam tubuhnya untuk tetap tinggi setelah dipindahkan ke air payau yang lebih rendah kadar garamnya. Hewan air tawar memiliki cairan tubuh yang secara osmotik lebih pekat daripada medium eskternal, sehingga disebut sebagai kelompok hiperosmotik. Jika hewan tersebut memiliki konsentrasi osmotik lebih rendah daripada medium eksternalnya, seperti pada kelompok ikan teleosteii di laut, maka disebut sebagai hiposmotik. Jika dua sistem misalnya antara cairan tubuh dengan medium eksternalnya memiliki konsentrasi osmotik yang sama maka disebut sebagai isosmotik. Istilah hipo-, hiper-, dan isosmotik bukan mencerminkan komposisi larutan. Sebagai contoh, larutan 1 M KCl bersifat isosmotik dengan 1 M larutan NaCl karena keduanya memiliki jumlah partikel terlarut yang sama (Santoso, 2009).
Cara osmoregulasi pada vertebrata laut berbeda dengan osmoregulasi pada invertebrata. Vertebrata laut dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu konformer osmotik dan ionik (osmokonformer) serta regulator osmotik dan ionik. Contoh vertebrata laut yang membentuk keseimbangan osmotik dan ionik dengan air laut adalah siklostomata (hagfish), yang merupakan vertebrata primitif. Hewan ini melakukan osmoregulasi dengan cara yang sama seperti yang dilakukan invertebrata laut. Teleostei laut, yang mempunyai cairan tubuh hipoosmotik terhadap air laut, mempunyai mekanisme adaptasi tertentu yang bermanfaat untuk menghindari kehilangan air dari tubuhnya. Pada hewan ini, kehilangan air dari tubuh terutama terjadi melalui insang. Sebagai penggantinya, hewan ini akan minum air laut dalam jumlah banyak. Namun, cara tersebut menyebabkan garam yang ikut masuk ke dalam tubuh menjadi banyak pula. Kelebihan garam ini harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Pengeluaran kelebihan garam dalam jumlah besar dilakukan melalui insang, karena insang akan mengandung sel khusus yang disebut sel klorid. Sel klorid ialah sel yang berfungsi  untuk mengeluarkan NaCl dari plasma ke air laut secara aktif (Isnaeni, 2006).
Elasmobrankhii memiliki masalah berupa pemasukan Na+ yang terlalu banyak ke dalam tubuhnya (melalui insang). Untuk mengatasi masalah tersebut, elasmobrankhii menggunakan kelenjar khusus, yaitu kelenjar rektal, yang sangat penting untuk mengeluarkan kelebihan Na+ secara aktif. Kelenjar rektak merupakan kelenjar khusus yang terbuka ke arah rektum dan menyekresikan cairan yang kaya NaCl. Masalah lain yang dihadapi elasmobrankhii ialah adanya perolehan air yang terlalu sedikit. Untuk megatasinya, hewan ini menghasilkan sedikit urin. Sekalipun hanya sedikit, urin tersebut juga dimanfaatkan untuk mengeluarkan kelebihan NaCl (Isnaeni, 2006).
Sejumlah mamalia laut, contohnya lumba-lumba dan ikan paus, menghadapi masalah pemasukan garam yang terlalu banyak ke dalam tubuhnya, yang masuk bersama makanan. Masalah tersebut diatasi dengan dimilikinya ginjal yang snagat efisien sehingga dapat menghasilkan urin yang sangat pekat. Dengan ginjal semacam itu, dapat dipastikan bahwa kelebihan garam dapat dikeluarkan dari tubuh. Urin yang dihasilkan mempunyai kepekatan 3-4 kali dari cairan plasmanya (Isnaeni, 2006).
b.      Osmoregulasi Hewan pada Lingkungan Air Laut
Masalah yang dihadapi hewan air tawar merupakan kebalikan dari masalah yang dihadapi hewan air laut. Hewan air tawar mempunyai cairan tubuh dengan tekanan osmotik yang lebih tinggi dari lingkungannya(hiperosmotik/hipertonis). Berarti, mereka terancam oleh dua hal utama, yaitu kehilangan garam dan pemasokan air yang berlebihan (Isnaeni, 2006).
Vertebrata dan invertebrata air tawar membatasi pemasukan air (dan kehilangan ion) dengan cara membentuk permukaan tubuh yang impermeabel terhadap air. Meskipun demikian, air dan ion tetap dapat bergerak melewati insang yang relatif terbuka. Air yang masuk ke dalam tubuh invertebrata dikeluarkan dalam bentuk urin. Laju aliran urin pada invertebrata air tawar jauh lebih tinggi daripada yang dialami oleh hewan laut (Isnaeni, 2006).
Akan tetapi, pengeluaran urin juga menyebabkan pengeluaran ion. Oleh karena itu, hewan perlu melakukan transpor aktif untuk memasukkan ion ke dalam tubuhnya. Pada krustasea air tawar, transpor aktif ion terjadi melalui insang. Vertebrata air tawar melakukan hal yang hampir sama dengan invertebrata air tawar, yaitu memasukkan ion dan garam dengan transpor aktif. Sebenarnya, penggantian ion yang terlepas ke dalam air dapat dilakukan dengan makan, namun sumber masukkan ion yang utama adalah transpor aktif melalui insang (Isnaeni, 2006).
Cairan tubuh teleostei air tawar memiliki konsentrasi osmotik yang lebih tinggi dari air tawar (mendekati 300mOsm per liter). Oleh karena itu, hewan ini memiliki peluang yang besar untuk memasukkan air ke dalam tubuhnya, terutama melalui insang. Kelebihan air itu akan dikeluarkan lewat urin, namun dengan cara itu sejumlah garam pun akan hilang dari tubuh bersama urin. Sebagian garam meninggalkan tubuh ikan melalui insang. Sebagai pengganti garam yang hilang, hewan tersebut akan mengambil garam melalui insang dengan cara transpor aktif. Dalam hal ini, insang berfungsi sebagai alat untuk memasukkan garam ke dalam tubuh dengan cara transpor aktif, sekaligus untuk membuang kelebihan garam secara difusi (Isnaeni, 2006).
c.       Osmoregulasi Hewan pada Lingkungan Payau
Tidak semua hewan akuatik selamanya menetap di habitat yang sama (air laut atau air tawar). Sejumlah hewan laut maupun hewan air tawar pada saat-saat tertentu masuk ke daerah payau. Lingkungan payau ialah lingkungan akuatik di daerah pantai, yang merupakan tempat pertemuan antara air sungai dan laut. Pada beberapa jenis ikan seperti lamprey, salmon, dan belut, perpindahan antara air tawar dan air bergaram merupakan bagian dari siklus hidup yang normal (Isnaeni, 2006).
Contoh hewan yang dapat hidup di lingkungan payau adalah larva dari beberapa jenis nyamuk. Larva tersebut umumnya dapat tumbuh dengan sama baiknya, baik di air tawar maupun di air bergaram yang beberapa kali lebih pekat dari cairan hemolimfenya. Bahkan, larva tersebut juga dapat menoleransi kadar garam yang tiga kali lebih tinggi daripada kadar garam air laut. Contoh hewan lain yang melakukan perpindahan dari air laut ke air tawar dan sebaliknya yaitu ikan Teleostei, meskipun dengan kemampuan yang terbatas. Ketika berpindah dai air tawar ke air laut, dalam waktu 10 hari belut akan kehilangan air secara osmotik, yang besarnya mencapai 4% dari berat tubuhnya. Apabila hewan ini diperlakukan sedemikian rupa sehingga tidak dapat minum air laut (misalnya dengan cara menempatkan balon pada esofagusnya), belut tersebut akan terus-menerus kehilangan air hingga akhirnya mengalami dehidrasi, dan segera mati dalam beberapa hari. Namun, apabila belut dibiarkan kembali minum air laut, berat tubuh yang hilang akan segera digantikan dan mencapai keadaan seimbang dalam waktu 1-2 hari (Isnaeni, 2006).
2.         Respons Hewan Terrestrial
Kehilangan air di tubuh hewan dapat terjadi dengan sangat mudah melalui penguapan. Air yang hilang tersebut harus diganti. Penguapan air dari tubuh hewan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor sebagai berikut.
a.         Kandungan uap air di atmosfer; penguapan dapat ditekan apabila kandungan air di atmosfer (kelembapan relatif) meningkat.
b.        Suhu; jika suhu atmosfer meningkat, penguapan akan bertambah cepat.
c.         Gerakan udara pada permukaan benda yang melakukan evaporasi; laju penguapan meningkat, jika pergerakan udara meningkat (ada angin yang kuat)
d.        Tekanan barometrik; jika tekanan barometrik menurun, laju penguapan bertambah.
e.         Luas permukaan penguapan; apabila daerah permukaan yang menghadap ke lingkungan lebih luas, pelepasan air akan lebih besar/lebih cepat.
Invertebrata darat umumnya adalah golongan Artropoda, insekta, dan laba-laba. Salah satu gambaran khas dari insekta ialah adanya rangka luarnya yang memiliki lapisan kutikula. Kutikula tersebut merupakan salah satu cara untuk memperkecil kehilangan air melalui permukaan tubuh. Namun, tidak semua kutikula pada invertebrata darat dapat menghambat kehilangan air dari dalam tubuh. Contohnya adalah cacing tanah yang justru mengalami penguapan air 70 kali lebih besar dibandingkan dengan insekta.
Selain kutikula, cara lainnya untuk menghemat air pada insekta adalah adanya penundaan ekspirasi. Insekta memiliki spirakel pada trakeanya yang merupakan jalan pelepasan air. Ketika terjadi pertukaran udara di dalam spirakel, tekanan dalam sistem trakea menjadi lebih rendah dari pada tekanan atmosfer, sehingga udara dari atmosfer bergerak masuk ke dalam trakea, sedangkan aliran udara keluar dari tubuh (yang dapat menyebabkan kehilangan air) dapat ditunda. Insekta mengalami kehilangan air dalam jumlah yang sangat sedikit melalui feses dan urin, hewan ini mengeluarkan zat sisa bernitrogen dalam bentuk asam urat yang sangat tidak larut dalam air.
Pada vertebrata, salah satu upaya untuk mencegah kehilangan banyak air adalah memiliki kulit kering dan bersisik, yang biasanya dimiliki oleh hewan dari kelas reptil seperti ular, buaya, kadal, dan kura-kura. Terdapat pula cara lain yaitu dengan mengeluarkan zat sisa bernitrogen dalam bentuk asam urat dan mengeluarkan feses yang kering. Bahkan kadal dan kura-kura mampu merabsorpsi urin encernya demi mengatasi dehidrasi. Pada burung yang hidup di daerah pantai dan laut, kelebihan garam dalam tubuh merupakan salah satu masalah yang dihadapinya. Untuk mengatasi hal tersebut, burung akan mengeluarkannya melalui kelenjar garam yang terdapat di cekungan dangkal pada kepala bagian atas di sebelah atas tiap matanya. Kelenjar serupa juga terdapat pada reptil.
Pada mamalia, air dalam tubuh diperoleh dari air minum dan makanan, sedangkan kehilangan air dapat terjadi melalui keringat. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk mengatasi kehilangan banyak air adalah dengan meminimalisir terjadinya produksi keringat, seperti ketika beberapa hewan berada di bawah panas terik matahari, mereka akan mencoba untuk berteduh di bawah naungan dan sebagainya. Pada mamalia gurun, yang akan sulit memperoleh air minum, cara yang dilakukan adalah menyimpan cadangan air di dalam tubuh, seperti onta yang menyimpan air di dalam punuknya.