Homeostasis (homeo = kesamaan, -stasis = kedudukan yang tetap) adalah kondisi keseimbangan sistem
yang ada di dalam tubuh, disebabkan oleh adanya interaksi yang konstan dari
banyak proses regulasi dalam tubuh. Homeostasis adalah kondisi dinamis, sebagai
respons dari kondisi yang berubah (Tortora dkk, 2016).
A.
Konsep
Homeostasis
Secara umum, kondisi lingkungan
eksternal sangat tidak konstan. Akan ada perubahan temperatur, ketersediaan
air, konsentrasi gas, pH dan sebagainya. Perubahan- perubahan tersebut mungkin
akan terjadi pada periode harian atau musiman, dan akan memberikan tantangan
bagi fungsi normal hewan. Jika lingkungan eksternal berubah juga akan
memberikan efek terhadap cairan tubuh hewan yang menjadi penyusun lingkungan
internal mengalami perubahan. Jika terjadi perubahan yang besar maka akan
berdampak kepada keseluruhan sistem fisiologis hewan sehingga sangat berisiko
bagi kelangsungan hidupnya. Oleh sebab itu, hewan semaksimal mungkin harus
mempertahankan kondisi lingkungan internal tersebut agar tidak berubah kendati
kondisi lingkungan berubah. Kebutuhan absolut hewan untuk mempertahankan
kondisi internalnya dalam keadaan konstan dikenal sebagai homeostasis (Santoso,
2009).
Aspek terpenting dari homeostasis
adalah memelihara dan menjaga volume serta komposisi dari cairan tubuh dan air yang
mengandung molekul kimia di dalam sel. Cairan di dalam sel disebut cairan
intraseluler. Cairan di luar sel tubuh disebut cairan ekstraseluler. Cairan
ekstraseluler yang mengisi celah sempit di antara sel dan jaringan dikenal
sebagai cairan interstitial. Penyebutan cairan ekstraseluler berbeda-beda
tergantung pada keberadaannya di dalam tubuh, seperti cairan ekstraseluler di
dalam pembuluh darah yang disebut plasma darah, di dalam pembuluh limfa disebut
cairan getah bening, di dalam sendi disebut cairan synovial, dan di dalam mata
disebut aqueous humour dan viterous body (Tortora dkk, 2016).
Konsep homeostasis pertama kali
muncul di bidang fisiologi di Francis abad ke- 19. Seorang ahli fisiologi
Perancis bernama Claude Bernard yang pertama kali mendeskripsikan dari hasil
penelitiannya tentang betapa pentingnya stabilitas lingkungan internal hewan.
Dia mengistilahkan lingkungan internal dengan milieu interieur. Lingkungan internal ini telah berkembang
sebagaimana hewan mengalami perkembangannya, dan dengan itu terdapat berbagai
organ fisiologis penting yang akan mempertahankan kondisinya agar tetap
konstan. Homeostasis adalah tema sentral dalam fisiologi. Terdapat sejumlah
contoh yang sangat banyak dari homeostasis. Ketika hewan menjadi semakin
kompleks dan terspesialisasi sepanjang proses evolusinya, maka homeostasis juga
menjadi semakin penting bagi fisiologis tubuh. Sebagian hewan juga tidak
mempertahankan kondisi lingkungan internalnya untuk menjadi berbeda dengan
lingkungan luar sehingga perubahan apapun di luar akan tercermin dari perubahan
di dalam lingkungan internal. Kelompok ini disebut konformer. Akan tetapi,
terdapat batasan-batasan terhadap derajat perubahan yang terjadi yang dapat
ditolerir oleh hewan, jika melewati batas toleransi akan menyebabkan kematian
atau setidaknya kerusakan yang signifikan. Oleh sebab itulah, sebagian besar
hewan maju justru mempertahankan kondisi internalnya untuk berbeda terhadap
kondisi eksternal (yang disebut kelompok regulator). Dalam kondisi ini,
lingkungan internal diregulasi melalui mekanisme-mekanisme kompleks yang
tercakup dalam proses homeostasis sehingga kondisi yang ada tetap berbeda dan
perbedaan itu relatif konstan (Santoso, 2009).
Gambar
1. Contoh dari mekanisme konformer (a) yang
berbeda dengan mekanisme regulasi (b) terhadap variabel suhu internal
sehubungan dengan perubahan suhu eksternal
(Sumber: Santoso, 2009)
Cairan
yang mengelilingi sel-sel hewan dalam berbagai hal memiliki komposisi yang
cukup berbeda dengan lingkungan eksternal yang berada di sekitar tubuh hewan.
Misalnya hewan terrestrial, memiliki cairan tubuh yang dikelilingi oleh
lingkungan eksternal berupa udara, atau hewan akuatis yang dikelilingi oleh
lingkungan eksternal berupa air. Hal yang harus dilakukan oleh hewan adalah
untuk menjaga cairan tubuhnya dalam kondisi relatif konstan seperti konsentrasi
ion-ionnya, gas terlarut, level nutrien dan lain-lainnya (Santoso. 2009).
B.
Sistem
Kontrol Homeostasis
Sistem kontrol homeostasis adalah
suatu jalinan komponen-komponen tubuh yang saling berhubungan secara fungsional
dan bekerja untuk mempertahankan suatu faktor dalam lingkungan internal agar
relatif konstan di sekitar suatu tingkat optimal. Untuk mempertahankan
homeostasis, sistem kontrol harus mampu: (1) mendeteksi penyimpangan dari nilai
normal faktor internal yang perlu dijaga dalam batas-batas yang sempit; (2)
mengintegrasikan informasi ini dengan informasi lain yang relevan; dan (3)
melakukan penyesuaian yang tepat dalam aktivitas bagian-bagian tubuh yang
bertanggung jawab memulihkan faktor tersebut ke nilai yang diinginkan
(Sherwood, 2009).
1.
Sistem
kontrol homeostasis umpan balik (feedback)
Sistem feedback/feedback loop
adalah siklus dari kejadian ketika status kondisi tubuh dimonitor, dievaluasi,
diubah, dimonitor kembali, dan begitu seterusnya. Berbagai variabel yang
dimonitor, seperti suhu tubuh, tekanan darah, atau kadar gula darah, disebut
sebagai “controlled condition”
(kondisi yang dikontrol). Berbagai gangguan yang mengubah “controlled condition” disebut sebagai stimulus. Sistem feedback memiliki 3 komponen dasar,
yaitu reseptor, pusat kontrol/integrasi, dan efektor (Tortora dkk, 2016).
Antara reseptor dan pusat integrasi
dihubungkan oleh saraf sensorik, sedangkan antar pusat integrasi dan efektor
dihubungkan oleh saraf motorik. Reseptor berperan sebagai pemantau perubahan
yang terjadi di lingkungan, baik lingkungan luar maupun lingkungan dalam tubuh
hewan. Dalam sistem hidup, reseptor berfungsi sebagai transduser biologis,
yaitu komponen struktural dalam tubuh hewan yang memiliki kemampuan untuk
mengubah suatu bentuk energi yang dideteksi dari lingkungan (misalnya energi
listrik dan energi kimia) melalui serabut saraf aferen menuju pusat integrasi
(pusat pengatur/kontrol) (Isnaeni, 2006).
Pusat integrasi pada hewan biasanya
berupa otak atau korda spinalis. Peran pusat integrasi ialah membandingkan
informasi yang diterimanya dengan keadaan yang seharusnya (keadaan yang
diharapkan). Jika informasi yang diterima tidak sama dengan keadaan yang
seharusnya, contohnya ketika suhu tubuh yang lebih tinggi atau lebih rendah
dari suhu ideal 37oC, hipotalamus sebagai pusat integrasi
pengendalian suhu tubuh dengan sistem umpan balik negatif akan memerintahkan
efektor untuk memberikan tanggapan yang dapat menurunkan atau menaikkan suhu
tubuh, misalnya dengan cara berkeringat, melebarkan pembuluh darah di kulit,
dan melakukan upaya lainnya. Efektor sendiri merupakan organ dalam tubuh hewan
yang berfungsi sebagai organ penghasil tanggapan biologis, yang dapat berupa
sel otot atau kelenjar, dan bekerja atas perintah dari pusat integrasi
(Isnaeni, 2006).
Gambar
2. Komponen dasar, susunan, dan mekanisme
dari sistem umpan balik.
(Sumber: dimodifikasi dari Tortora
dkk, 2016).
Umpan balik terbagi atas dua yaitu
negatif dan positif. Umpan balik negatif dapat didefinisikan sebagai suatu
perubahan sebuah variabel yang dilawan oleh suatu respons yang cenderung
berkebalikan dengan perubahan tersebut. Sebagai contoh, pada burung dan mamalia
yang harus menjaga suhu tubuhnya, peningkatan suhu tubuh akan menghasilkan
respons-respons spesifik yang akan mengembalikan suhu tubuh ke keadaan normal.
Jadi, umpan balik negatif berperan dalam menjaga stabilitas fisiologis tubuh
(Santoso, 2009).
Gambar
3. Sistem umpan balik negatif pada proses
penurunan tekanan darah.
(Sumber: dimodifikasi dari Tortora
dkk, 2016).
Hal ini kontras dengan sistem umpan
balik positif dimana perubahan awal pada suatu variabel akan menghasilkan
perubahan yang lebih lanjut pada arah yang sama. Secara garis besar, sistem
umpan balik positif hanya memiliki peran sangat kecil dalam menjaga
homeostasis. Salah satu contohnya adalah koagulasi atau pembekuan darah. Proses
koagulasi bekerja berdasarkan mekanisme umpan balik positif dan dapat dianggap
sebagai suatu proses yang terlibat dalam menjaga volume sirkulasi darah agar
tetap konstan (Santoso, 2009). Selain terlibat dalam pembekuan darah, sistem
umpan balik positif juga terlibat dalam fungsi sel saraf (Isnaeni, 2006).
Gambar
4.Sistem umpan balik positif pada
kelahiran bayi.
(Sumber: dimodifikasi dari Tortora
dkk, 2016).
2.
Sistem kontrol
homeostasis umpan ke depan (feed forward)
Kendati sistem umpan balik negatif
sangat penting bagi penjaga homeostasis tubuh, ada metode fisiologis lainnya
dimana kontrol lingkungan internal juga dilakukan sedemikian rupa. Mekanisme
tersebut adalah umpan ke depan (feed forward).
Feed forward merupakan aktivitas
antisipatori, berkaitan dengan perilaku hewan yang dimaksudkan untuk
memperkecil (meminimalkan) kerusakan/gangguan pada sistem hidup, sebelum
terjadi kerusakan yang lebih parah. Contohnya adalah ketika peristiwa makan dan
minum pada saat bersamaan. Memasukkan makanan ke dalam tubuh akan meningkatkan
osmolalitas isi usus, dan hal ini dapat mendorong pelepasan air dari jaringan
tubuh ke lumen usus untuk mempertahankan keseimbangan osmotik. Oleh karena itu,
makan tanpa diikuti minum berpotensi menyebabkan dehidrasi sehingga homeostasis
osmotik tubuh akan terganggu. Untuk memperkecil gangguan tersebut, beberapa hewan
melakukan makan dan minum pada saat yang bersamaan (Isnaeni, 2006). Ada juga
perilaku lainnya yang berkontribusi terhadap homeostasis pada hewan, misalnya
hewan dapat belajar untuk menghindari bahan makanan muntah yang mengganggu
homeostasis jika terjadi (Santoso, 2009).
C.
Faktor
yang Diatur Secara Homeostasis
Banyak
faktor dalam lingkungan internal yang harus dipertahankan secara homeostasis.
Faktor-faktor tersebut mencakup (Sherwood, 2009):
1.
Konsentrasi
molekul-molekul nutrien
Sel-sel memerlukan pasokan molekul nutrien secara
terus-menerus untuk menghasilkan energi. Energi, sebaliknya, diperlukan untuk
menunjang berbagai aktivitas sel baik yang bersifat khusus maupun yang untuk
mempertahankan kehidupan.
2.
Konsentrasi O2
dan CO2
Sel-sel memerlukan O2 untuk melakukan reaksi kimia
pembentuk energi. CO, yang dibentuk selama reaksi-reaksi ini harus dikeluarkan
sehingga tidak terbentuk asam yang meningkatkan keasaman lingkungan internal.
2.
Konsentrasi zat sisa
Sebagian reaksi kimia menghasilkan produk-produk
akhir yang menimbulkan efek toksik pada sel tubuh jika dibiarkan berakumulasi.
3.
pH
Perubahan pada pH (jumlah relatif asam) berpengaruh
buruk pada fungsi sel saraf dan merusak aktivitas enzim semua sel.
4.
Konsentrasi garam, air
dan elektrolit lain.
Karena konsentrasi relatif garam
(NaCl) dan air di cairan ekstra sel mempengaruhi seberapa banyak air yang masuk
atau keluar sel, maka konsentrasi keduanya diatur secara cermat untuk
mempertahankan volume sel. Sel tidak berfungsi normal jika membengkak atau
menciut. Elektrolit-elektrolit lain berperan dalam berbagai fungsi vital lain.
Sebagai contoh, denyut jantung yang teratur bergantung pada konsentrasi kalium
(K+) yang relatif konstan di cairan ekstra sel.
5.
Volume dan tekanan
Komponen lingkungan internal yang beredar, yaitu
plasma, harus dipertahankan pada volume dan tekanan darah yang adekuat untuk
menjamin distribusi penghubung antara lingkungan eksternal dan sel yang penting
ini ke seluruh tubuh.
6.
Suhu
Sel-sel tubuh berfungsi optimal dalam kisaran suhu
yang sempit. Jika sel terlalu dingin maka fungsi-fungsi sel akan terlalu
melambat; dan yang lebih buruk lagi, jika sel terlalu panas maka
protein-protein struktural dan enzimatik akan terganggu atau rusak.
Untuk melihat daftar pustaka/sumber referensi dan materi Fisiologi Hewan lainnya, silahkan klik link di bawah ini:
Untuk melihat daftar pustaka/sumber referensi dan materi Fisiologi Hewan lainnya, silahkan klik link di bawah ini: