BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sekarang ini ada kecenderungan untuk
melihat Islam secara menyeluruh dengan menonjolkan ciri-ciri Islam lokal. Kajian
Marshal Hodgson yang mencoba
menggabungkan perjalanan pergumulan Islam dengan budaya maupun peradaban lokal
menunjukkan suatu hasil yang memuaskan. Buku The Venture of Islam, tidak saja menghasilkan sebuah peta besar keberagaman
Islam, tetapi juga merupakan tantangan tersendiri bagi pengamat Islam untuk
menerjemahkan makna keberagaman itu. Di lain pihak, buku itu menyisakan banyak
pekerjaan rumah untuk kita semua bagaimana mengembangkan pemahaman dan kajian
Islam di tingkat lokal untuk melihat keragaman dan kekayaan Islam lokal.
Seperti yang telah kita ketahui
bahwa manausia adalah makhluk sosial oleh karena itu di buat suatu aturan atau
hukum bagi manusia itu sendiri dan manusia ada kalanya menerima dengan apa yang
di buat aturan dan ada pula yang tidak menerima bahkan bisa jadi membantah aturan
itu karena setiap manusia punya sifat sendiri-sendiri, kepentingan
sendiri-sendiri,dan ego yang tinggi. Dalam hal ini berupa aturan atau hukum
agama untuk membatasi sifat, kepentingan, ego manusia dari itulah terciptanya
agama sebagai penenang hidup dalam dunia ini dan selamat di akhirat.
Oleh karena itu di dalam studi Islam pun tidak lepas dari memahami tentang
kebutuhan manusia baik lahir ataupun batin agar manusia tidak ada unsur
keterpaksaan dalam memeluk suatu keyakinan atau agama.
Pada saat ini kehadiran agama
semakin di tuntut agar ikut terlibat secara aktif dalam memecahkan berbagai
masalah yang di hadapi manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang
kesalehan atau sekedar di sampaikan dalam khotbah, melainkan secara
konsepsional menunjukan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Pendekatan antropologis dalam
memahami agama dapat di artikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan
cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dangan
masalah-masalah yang di hadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan
jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu
antropologi dalam melihat suatu masalah di gunakan pula untuk memahami agama.
Agaknya kajian-kajian tentang agama
dan budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita
terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan
budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan
Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local konwledge yang tumbuh dari
pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan wacana baru
globalisasi. Kajian tentang local Islam
dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana manusia.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa
sesungguhnya pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia
yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia dalam Islam memberikan
indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam mengetahui tentang Tuhan.
Dengan demikian pemahaman agama secara keseluruhan tidak akan tercapai tanpa
memahami separuh dari agama yaitu manusia. Barangkali tidak berlebihan untuk
menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah realitas Ketuhanan yang
empiris. Di sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam.
Sebagai ilmu yang mengkhususkan diri mempelajari manusia yang merupakan
realitas empiris agama maka antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama
itu sendiri.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan pendekatan antropologi?
2.
Apakah fungsi pendekatan antropologi?
3.
Bagaimanakah cara kerja pendekatan
antropologi dalam mengkaji pergumulan budaya Islam dengan budaya lokal?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah agar
mahasiswa dapat mengetahui apa itu pendekatan antropologi dalam Metodologi
Studi Islam, serta bagaimanakah pelaksanaannya dalam mengkaji pergumulan budaya
Islam dengan budaya lokal.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Pendekatan Antropologi
Antropologi berasal dari bahasa Yunani; anthropos yang berarti
manusia, dan logos yang berarti ilmu (Koentjaraningrat,
1984). Secara
definisi, menurut beberapa pakarnya pengertian antropologi dapat dimengerti
sebagai ilmu yang mempelajari tentang keberadaan manusia, budaya masyarakatnya,
dalam suatu teritorial tertentu.
Lebih jelasnya, William A. Haviland
mengemukakan bahwa antropologi merupakan studi tentang umat manusia, berusaha
menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya untuk
memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia. Menurut
Koentjaraningrat, antropologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari umat
manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat,
serta kebudayaan yang dihasilkannya.
Dari beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa antropologi adalah
studi yang mempelajari manusia dalam semua aspek kehidupannya. Dimana dalam
pemahaman umumnya antropologi mengkonsentrasikan dirinya secara keseluruhan
untuk mempelajari manusia dalam aspek sosialnya. Yakni hubungannya dengan orang
lain dalam sebuah tatanan masyarakat sehingga menghasilkan pemahaman terhadap
hal-hal yang bersifat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat yang dimaksud.
Selanjutnya, diketahui bahwa yang menjadi tugas utama antropologi, studi
tentang manusia adalah untuk memungkinkan kita memahami diri kita dengan
memahami kebudayaan lain. Antropologi menyadarkan kita tentang kesatuan manusia
secara esensial, dan karenanya membuat kita saling menghargai antara satu
dengan yang lain (Ahmad, 1994).
Kajian antropologi dibagi empat, yaitu:
a.
Intelektualisme,
yaitu mempelajari agama dari sudut pandang intelektual yang mencoba melihat
definisi agama dalam setiap masyarakat, kemudian melihat perkembangannya (religius development) dalam
suatu masyarakat. E.B. Taylor
mengemukakan bahwa agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan
supernatural.
b.
Strukturalis
c.
Fungsionalis
d.
Simbolis
Objek antropologi agama ada empat, yaitu:
a.
Modus pemikiran
primitif,
b.
Komunikasi,
seperti simbol dan mite,
c.
Teori dan
praktik keagamaan,
d.
Praktik ritual
sampingan seperti magic.
Sedangkan aliran antropologi agama terdiri dari.
a. Aliran
fungsional
Penelitian Brosnilaw Kacper Malinowski bertujuan mengetahui titik pandang
pemikiran masayarakat sederhana dan hubungannya dengan kehidupan serta
mengatakan pandangan-pandangan mereka tentang dunia.
b.Aliran
historis
EE Evans Pritchard dalam
penelitiannya mengaitkan bahwa
aliran historis adalah membandingkan struktur masyarakat dan kebudayaan yang
berbeda.
c. Aliran
struktural
Claude Levi Strauss mengemukakan
bahwa bahasa dan mite menggambarkan kaitan antara alam dengan budaya dan
hubungan antara alam dan budaya itu ditemukan hukum-hukum pemikiran masyarakat
yang diteliti.
2.2 Fungsi
Pendekatan Antropologis
Setelah mengkaji tentang hal-hal yang berkenaan dengan antropologi secara
umum, terhadap Islam sebagai sebuah agama yang dianut oleh suatu masyarakat
dapat ditemukan beberapa fungsi padanya. Hal ini seperti yang dikemukakan Abudin Nata dalam buku Metodologi Studi Islam, bahwa melalui
pendekatan antropologis akan didapati hasil, yang diantaranya:
1.
Pendekatan antropologis dapat melihat agama dalam
hubungannya dengan mekanisme pengorganisasian (social organization).
2.
Dapat melihat hubungan antara agama dan negara.
3.
Melihat keterkaitan agama dengan psikoterapi.
Selanjutnya dapat ditemukan pula dengan pendekatan antropologis ini,
tentang seberapa melekatnya ajaran Islam dalam pola pikir masyarakat sehingga
dapat disimpulkan bahwa suatu masyarakat tertentu adalah sebuah masyarakat yang
Islami. Namun, perlu dimaklumi juga bahwa hasil yang didapati dari pendekatan
antropologis ini adalah tidak terbatas pada apa yang diungkapkan di atas saja.
Fungsi utama dari pendekatan antropologis dalam mengkaji Islam pada konteks
sebuah tatanan masyarakat saat ini, jika dihadapkan oleh berbagai polemik yang
mencuat di kalangan umat Islam sendiri tentang banyaknya perbedaan-perbedaan
yang timbul; bahwa, “Hasil kajian antropologi terhadap realitas kehidupan
konkrit di lapangan akan dapat membantu tumbuhnya saling pemahaman antar
berbagai paham dan penghayatan keberagamaan yang sangat bermacam-macam
dalam kehidupan riil masyarakat Islam baik pada tingkat lokal, regional,
nasional maupun internasional.”
2.3
Pendekatan Antropologi dalam Pergumulan Budaya Islam dengan Budaya Lokal
Relasi antara Islam sebagai agama dengan adat dan budaya lokal sangat
jelas dalam kajian antropologi agama. Dalam perspektif ini diyakini, bahwa
agama merupakan penjelmaan dari sistem budaya. Berdasarkan teori ini, Islam
sebagai agama samawi dianggap merupakan penjelmaan dari sistem budaya suatu
masyarakat Muslim. Tesis ini kemudian dikembangkan pada aspek-aspek ajaran
Islam, termasuk aspek hukumnya. Para pakar antropologi dan sosiologi mendekati
hukum Islam sebagai sebuah institusi kebudayaan Muslim. Pada konteks sekarang,
pengkajian hukum dengan pendekatan sosiologis dan antrologis sudah dikembangkan
oleh para ahli hukum Islam yang peduli terhadap nasib syari’ah. Dalam pandangan
mereka, jika syari’ah tidak didekati secara sosio-historis, maka yang terjadi
adalah pembakuan terhadap norma syariah yang sejatinya bersifat dinamis dan
mengakomodasi perubahan masyarakat.
Nurcholish
Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami
agama Islam, karena konsep manusia sebagai ‘khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi,
misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam. Posisi
penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama
dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia.
Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama
yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah
pergumulan keagamaannya (Madjid, 2000).
Islam sebagai agama, kebudayaan dan peradaban besar dunia sudah sejak awal
masuk ke Indonesia pada abad ke-7 dan terus berkembang hingga kini. Ia telah
memberi sumbangsih terhadap keanekaragaman kebudayaan nusantara. Islam tidak
saja hadir dalam tradisi agung [great tradition] bahkan memperkaya
pluralitas dengan Islamisasi kebudayaan dan pribumisasi Islam yang pada
gilirannya banyak melahirkan tradisi-tardisi kecil [little tradition]
Islam.
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat
diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud
praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui
pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang
dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
Dengan
demikian pendekatan antropologi dalam mengkaji agama berarti menggunakan
cara-cara yang digunakan oleh disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu
masalah dalam upaya memahami agama. Menurut Amin Abdullah cara kerja –yang dalam
hal ini bisa kita artikan sebagai langkah dan tahapan- pendekatan antropologis
pada penelitian agama memiliki empat ciri fundamental, meliputi.
1.
Deskriptif : Pendekatan
antropologis bermula dan diawali dari kerja lapangan (field work), berhubungan dengan
orang dan –atau- masyarakat (kelompok) setempat yang diamati dalam jangka waktu
yang lama.
2.
Lokal Praktis : Pendekatan antropologis
disertai praktik konkrit dan nyata di lapangan. Yakni, dengan ikut praktik di
dalam peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan, semisal kelahiran,
perkawinan, kematian dan pemakaman.
3.
Keterkaitan antar domain kehidupan
secara lebih utuh (connections across
social domains) : Pendekatan antropologis mencari keterkaitan antara
domain-domain kehidupan sosial secara lebih utuh. Yakni, hubungan antara
wilayah ekonomi, sosial, agama, budaya dan politik. Hal ini dikarenakan
hampir tidak ada satu pun domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri
dan terlepas tanpa terkait dengan wilayah domain kehidupan yang lainnya.
4.
Komparatif (Perbandingan) : Pendekatan
antropologis –perlu- melakukan perbandingan dengan berbagai tradisi, sosial,
budaya dan agama-agama.
Melalui pendekatan antropologi sosok agama yang
berada pada dataran empiris akan dapat dilihat serat-seratnya dan latar
belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan dirumuskan. Antropologi
berupaya melihat hubungan antara agama dengan berbagai pranata sosial yang
terjadi di masyarakat. Dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat
ditemukan adanya hubungan yang positif antara kepercayaan agama dengan kondisi
ekonomi dan politik.
Menurut kesimpulan penelitian antropologi, bahwa
golongan masyarakat kurang mampu dan golongan miskin lain, pada umumnya lebih
tertarik kepada gerakan keagamaan yang bersifat messianis, yaitu sebuah kepercayaan rakyat akan datangnya sosok
yang dianggap mampu menebar keadilan dan ketenteraman, yang menjanjikan
perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan kaya lebih
cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara
ekonomi karena tatanan tersebut menguntungkan pihaknya. Sebagai
contoh sebagaimana disebut Robert N.
Bellah tentang adanya korelasi positif antara ajaran agama Tokugawa, yakni
semacam pencampuran antara agama Budha dan Sinto pada era pemerintahan Meiji
dengan semangat etos kerja orang Jepang modern.
Contoh lain yang mencerminkan bahwa studi agama dan
budaya lokal dapat dilakukan melalui pendekatan antropologi ialah sebagaimana
kisah salah seorang dari Wali Songo atau dikenal juga dengan sebutan Sembilan Wali,
yaitu Sunan Kalijaga yang dalam berdakwah, ia punya pola yang sama dengan
Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan
sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan
sebagai sarana untuk berdakwah, sangat toleran pada budaya lokal dan
berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka
mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan
Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan
lama akan hilang. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara
suluk sebagai sarana dakwah.
Dengan menggunakan pendekatan dan perspektif
antropologi tersebut di atas dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan fenomena-fenomena
keagamaan, ternyata tidak berdiri sendiri, dan tidak pernah terlepas dari
jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung
keberadaannya. Inilah makna dari penelitian antropologi dalam memahami
gejala-gejala keagamaan. Agama sebagai fenomena kehidupan yang merefleksikan
diri dalam sistem sosial budaya dan dalam bentuk prilaku berpola dapat dikaji
dan diteliti melalui pendekatan antropologi dengan menggunakan partisipant observation (pengamatan
terlibat). Pendekatan ini sangat ditekuni para ahli antroplogi untuk memahami
prilaku yang tak dapat diukir secara kuantitatif, karena dapat digunakan untuk
memahami berbagai aspek prilaku manusia beragama secara kualitatif, sebagaimana
halnya keimanan, keikhlasan, keakraban, dan lain-lain konsep yang dibangun
dalam kehidupan manusia beragama dapat lebih dipahami sebagai realitas sosial.
Dalam hal ini pendekatan antropologi
sebagaimana disebut M. Dawam Rahardjo dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim,
bahwa antropologi dalam kaitan ini lebih mengutamakan pengamatan langsung,
bahkan yang sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang
sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan
dalam pengamatan sosiologi. Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan
sebagai upaya untuk membebaskan diri dari kungkungan teori formal yang pada
dasarnya sangat abstrak.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pendekatan antropologis adalah salah satu upaya memahami
agama dengan cara melihat praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat.
Fungsi utama dari pendekatan
antropologis ialah bahwa ”Hasil kajian antropologi terhadap realitas kehidupan
konkrit di lapangan akan dapat membantu tumbuhnya saling pemahaman antar
berbagai paham dan penghayatan keberagamaan yang sangat bermacam-macam
dalam kehidupan riil masyarakat Islam baik pada tingkat lokal, regional,
nasional maupun internasional”.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik
dan M. Rusli Karim. 1990. Metodologi Penelitian Agama. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Ahmad, Akbar S.
1994. Kearah Antropologi Islam. Jakarta: Qultum Media.
Koentjaraningrat,
dkk. 1984. Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Pusat Pembinaan & Pengembangan
Bahasa, Departemen Pendidikan & Kebudayaan.
Madjid, Nurcholish.
2000. Islam Doktrin dan Peradaban. Cet. IV. Jakarta: Paramadina.
Nata, Abudin.
2000. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
No comments:
Post a Comment